Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Safira Azizah Dec 2019
Aku suka kata-kata
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀ begitu pun kamu
tapi bukankah
Seno pernah mengutuk kata-kata karena
mereka sudah terlalu banyak di dunia?*
.kata-kata tak punya makna
apalagi jiwa
kata-kata mudah menguap
sampai kita harus (mengurungnya)
sebelum terevaporasi entah-berentah
tak lagi dipahami!

Apa arti 'kita'
jika kata-kata tak punya makna?

Aku cukup payah
mencari kata 'kita' di antara tumpukan buku
yang tak selesai kubaca.

Kamu pernah bilang
aku membiusㅡmembisukan
tapi bukankah kata hanya sampai
bila diutarakan? tidak ke selatan, 'kan?

Kata-kata memang tak punya makna
apalagi yang tak tersampaikan
kata-kata mudah dilupakan
meski kamu pandai meramu kata
menjadi sajak-sajak cinta, dan menyuapiku:
semua terasa getir, aku tak punya selera.

Aku hanya bisa
menelan perasaan penasaran
yang tak kunjung habis.

Hingga aku kepayahan
merapal kata-kata 'kita,'
entah-berentah
Aku belum paham.
September 2019
.*dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma "Sepotong Senja untuk Pacarku"
#sajaktober
#metafora
Penunggang badai Feb 2021
Ahh, judul...
Kuliat ia akhir-akhir ini begitu menyebalkan
Begitu merangah, berusaha mencolok
Aku tidak yakin dia melakukannya dengan tidak sadar
Aku tahu dia menginginkan sesuatu

Kuasa!
Aha, itu sudah pasti kuasa
Kuliat ia begitu sombong hanya karena posisinya yang sedikit diatas
Memandang rendah kata-kata serumpun yang ada di bawahnya
Acuh melihat titik dan koma yang baginya tak ada apa-apanya

Hanya karena font yang sedikit tebal dan size yang agak besar
Membuat masyarakat kata memilihnya untuk mewakili suara mereka
Pun merasa tak sebanding dengan apa yang dimiliki ‘Si Congkak’ itu
Kata merasa rendah, titik koma tak berdaya
Dan mereka... Kalah atas kedaulatannya sendiri

Padahal judul hanya tak sadar
Bahwa kuasa yang dimilikinya itu bukan karena dirinya sendiri
Ia lahir karena keresahan kata
Yang terombang-ambing bagai kapal di ganasnya lautan
Menggantung bagai kepompong, terpenjara dalam ketidaksempurnaan
Melayang-layang bak daun jatuh ditiup angin, tak tentu arah
Mendambakan hidup yang bahagia dan tenteram untuk merdeka

Karena ketakutan kata-lah
Judul hadir sebagai jawaban
Agar kata dilirik pembaca
Agar kata digunakan dalam ruang diskusi
Agar kata hidup dalam kepala
Mengakar kokoh dan menjadi abadi

Judul adalah cerminan pemimpin di negeri ini
Seperti kacang yang acuh pada kulit, lupa diri
Bahwa dirinya ada untuk mendengar keresahan
Bukannya malah menjadi dalang kerusuhan
Bahwa dirinya ada untuk mengerti suara yang dimarjinalkan
Bukannya malah membuang muka, lalu lantas pergi meninggalkan

Lihatlah ibu yang telah melahirkan
Yang terpinggirkan mengandung harapan
Yang menanti dengan merapal doa disetiap malam
Anak baik jadilah baik
Wahai kalian yang duduk manis di kursi tahta

Bangkitlah!
Kata-kata dan rakyat jelata yang dipandang sebelah mata
Mendengarlah!
Wahai judul "Si Congkak" juga para pemimpin negeri yang berlagak sok kuasa
Dia ingin bermain kata-kata ternyata.
Sampah!
Mari kita permainkan dia bersama kata-kata! Akankah takut siapa yang tahu jika tidak pernah kita coba!
Kita perlu membencinya!
Membenci kebohongan busuk akal manusia.
Mari kita bermain kata-kata!
Siapa yang takut jika ia sering di cerca oleh pertanyaan mengapa!
Baiklah, bunyinya seperti ini.
Kau busuk akal rupa juga canda tawa tidak pernah ada artinya.
Kalimat yang kau lontarkan tidak pernah bermakna lantas apa arti jika harus hidup tak bisa bebas dan merdeka!
Bebas dan merdeka hanya kata-kata, tindakan ada setelahnya, apa yang kau perbuat setelah bermain lantas kau bereskan semua permainan yang ada!
Kau dalang permainan yang sejak awal kau ingin menang di dalamnya!
Masih ingin bermain?
Masih ingin bermain atau kau tak punya lawan main?
Seperti apa kata-kata kita cipta seperti apa kau punya wewenang kuasa!
Lupa cara,  buta aturan semua kau yang pegang!
Itu ujaran kebencian katanya!
Indonesia, 11 Februari 2021
Arif Aditya Abyan Nugroho
Joshua Soesanto Jun 2014
called "Papaver Somniferum"

perempuan seperti bunga *****
mempesona juga mematikan
di ekstrak di murnikan
di setubuhi di suntikan
konteks itu rasa
kohesi dalam pembuluh darah

serasa terbang tak menapak
ternyata aku overdosis kata

jangan penjarakan!
teriak pemadat rasa
jarum sajak masih menempel di tangan
"aku ini hanya pemakai kata"
kata yang ku tulis diam-diam
lalu kau membaca, merekahlah analogi rasa

aku ingat hari itu
kau berpakaian penuh warna
aku mulai gila
inikah suntikan pada kepala? pantas..
beringas

aku mulai sadar
saat kau bersenandung tentang orang lain
menjelang mentari tenggelam
aku bungkam

mungkin kali ini jarum terisi racun
suntik kemana?
"aku tidak akan memilih nyawa"
hanya memilih nadi yang pernah berwarna
kini melabuh mencapai titik jenuh

sesungguhnya sang pemberontak ingin bicara
tentang kopi tentang mimpi
tentang pantai tentang ombak
tentang terik tentang hujan
tentang candu tentang perjalanan
tentang rencana tentang pergi lalu menghilang
tetapi kau mengokang senjata

kembali aku bungkam
angkat kaki..
pergi dengan kutukan.
Banda Neira - Esok Pasti Jumpa #NowPlaying #Tracklist
So Dreamy Jan 2017
Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melepas seikat rindu
Untuk seseorang berpandangan sayu
Yang telah lama diombang-ambing oleh gelombang kelabu
Seberat langit mendung yang sendu
Berpayung ia lama mencari lentera menuju ujung jalan
Sembari menanti hentinya rintik hujan
Tanah becek berlumpur tempat kakinya lama singgah
Di mana guntur tak ada lelahnya menumpah ruahkan gundah

Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melekatkan seikat harapan
Untuk seseorang yang tengah dihuyung geramnya badai topan
Yang tak hentinya berharap agar matanya dibutakan mentari pagi
Jiwanya lama berkelana mencari, entah ke mana cahaya itu pergi
Jauh dalam sudut yang gelap ia dibiarkan sendiri*

-------------------------------------------------------­------------------------------------

Telah kuleburkan kata demi kata menjadi beberapa helai untaian kalimat
Untuk kompas dalam hidupmu yang telah kehilangan arah
Dibutakan oleh gulungan-gulungan masalah

Juga dalam doa-doa malamku dan setiap sujudku di atas sajadah,
Kubisikkan sebuah pinta agar dirimu selalu dalam pentunjuk-Nya,
Agar kelak dapat kau baca helaian untaian kalimat penyamangatku,
Yang kusampirkan dalam saku jaketmu hari itu,
Dapat merontokkan seluruh perasaan kelabu dalam kalbumu,
Mendepakmu dari sudut gelap di ruang tergelap pikiranmu sendiri.
Ada indah di balik kata-kata.
Tak perlu langsung tersurat,
Kata-kata pun bisa dirasa.
Bukan untuk mencari mata,
Hanya untuk sekedar bercerita
Rasanya tangan yang biasa digunakan untuk mengupil dan menggenggam tangan vian,

agak gatal untuk merangkai kata-kata (agak) gemas.

Aku menghabiskan beberapa menit untuk menulis ini,
dan pembaca akan membuang beberapa detik untuk membaca tulisan kosong ini.

Memang dibaca awal-sampai akhir kan tidak ada isinya!
Aku mau menulis tentang senyum vian yang manis tapi tidak ada kata yang cukup.

Harusnya aku menciptakan kata-kata baru di KBBI ‘senyum vian’ sebagai deskripsi rasa paling manis sedunia.

1 dunia sudah seharusnya berdoa dengan serius, dan penuh urgensi,

Agar hari vian selalu baik-baik saja. Bukannya kehidupan sudah cukup pahit dan 8,16 miliar jiwa membutuhkan obatnya?

Ups,

Kepada 8,16 miliar penghuni bumi lainnya,
Saya minta maaf, lupa kalau senyum paling manis vian aku saja yang bisa lihat.



Ps.
Puisinya sudah habis, benar kan isinya kosong dan cuma gombalan? Haha selamat mengerjakan tugas kuliah, vian! Puisi gombal (kosong agak berisi) untuk vian


Rasanya tangan yang biasa digunakan untuk mengupil dan menggenggam tangan vian,

agak gatal untuk merangkai kata-kata (agak) gemas.

Aku menghabiskan beberapa menit untuk menulis ini,
dan pembaca akan membuang beberapa detik untuk membaca tulisan kosong ini.

Memang dibaca awal-sampai akhir kan tidak ada isinya!
Aku mau menulis tentang senyum vian yang manis tapi tidak ada kata yang cukup.

Harusnya aku menciptakan kata-kata baru di KBBI ‘senyum vian’ sebagai deskripsi rasa paling manis sedunia.

1 dunia sudah seharusnya berdoa dengan serius, dan penuh urgensi,

Agar hari vian selalu baik-baik saja. Bukannya kehidupan sudah cukup pahit dan 8,16 miliar jiwa membutuhkan obatnya?

Ups,

Kepada 8,16 miliar penghuni bumi lainnya,
Saya minta maaf, lupa kalau senyum paling manis vian aku saja yang bisa lihat.
Ps.
Puisinya sudah habis, benar kan isinya kosong dan cuma gombalan? Haha selamat mengerjakan tugas kuliah, vian!
Rey Tidalgo Jul 2016
Matulog ka hirang / at kata'y tutulak
Sa landas ng gabing / humahalimuyak
Doo'y tutuparin / ng ating pangarap
Lahat ng pagsuyo't / pag-ibig na hanap

Kata'y aaliwin / ng mga kundiman
At patutulugin / ng hanging mahinay
Pag-ibig ang ating / magiging himlayan
Sa harap ng tala't / mga bulalakaw

Sa landas ng tuwa / kata'y matutulog
Lilipas ang hirap / lahat malilimot
Lalaya ang diwa't / mga bungang-tulog
Sa tulong ng gabing / lipos ng pag-irog

Kata'y maglalampong / nang buong hinahon
Wala ni sinuman / ang makatututol
Huhuni't aawit / ang lahat ng ibon
Titigil ang luhang / sa mata'y nanalong

Lamang ang hangad ko'y / iyong mamalasin
Ang aking pintuhong / hindi magmamaliw
Sukat na sa akin / na iyong ibigin
At kung ibigin ma'y / umibig ka giliw!

Tena at humimbing / sa gabing tahimik
Na nilalambungan / ng nunungong langit
Mga puso'y sabay / na mananaginip
Sa awit ng isang / hele ng pag-ibig
***
Kata - Tayo
Kundiman - Awit ng Pag-ibig
Bungang-tulog - Panaginip
Lipos - Puspos
Maglalampong - Maglalambing
Nanalong - Matulaing anyo ng bumabalong
Mamalasin - Mamasdan
Pintuho - Pagsuyo
Tena - Tara na
Hele - Awit na pampatulog
Joshua Soesanto Jun 2014
aku ingin teriak
menghilangkan penat yang semakin memberat
sendiri tanpa wujud manusia bersama malam, mengelapkan bumi
titik terang seperti tidak berpihak di antara hati dan jiwa bergejolak
mimpi semakin jauh

satu cerita seperti gambaran perjalanan hidup
mengarah kepada kematian jiwa
keraslah
keringlah
seperti akar hasrat yang haus akan hujan nurani sebuah sosok

lalu makin penuhlah pikiran dengan kotoran suara "omong kosong"
puisi jingga yang kata banyak orang sebagai makna dari "hidup"
kapankah sebuah imajinasi berwujud nyata?
bertumbuh, bermutasi sebagai bagian dari mimpi yang pernah ada

sepertinya kopi dan rokok pun sudah bosan
mendengar celoteh sang pemberontak
tapi, mereka selalu ada
suntikan darurat adrenaline ke otak

disaat itulah..
aku membunuh tuan waktu
lupa reluk, remuk.
siraman spiritual kepada luka-luka nanah di masa muda

mungkinkah kopi berwujud manusia?
*apakah ia bidadari? *
dan
mengapa aku menanti dia mati?

ternyata benar
kematian adalah sebuah regulasi
ia menjadi bubuk mantra.. luruslah hidup katanya
seduh
delapan puluh derajat panasnya
sebuah bisikan kata-kata "pesona"
maka meronalah ia.. berbusa senyum
cairan itu.. damai

damai
selalu damai
lima huruf memukul ingatan akan senderan hangat dada yang empuk
detak jantungnya terdengar berdebar
kembalinya mantra halus jatuh dari bibir
kata-kata tertahan yang tak sempat kembali

akan kah kembali?
mungkin.
D  Aug 2019
Kālēḇ
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
Jim Davis  Apr 2017
Touching
Jim Davis Apr 2017
In the last
three decades,
after we became one,
I touched
amazingly beautiful things,
horribly ugly things,  
unbelievably wondrous things

I touched nature's majesty;
hued walls of the Grand Canyon,              
crusty bark of the
Redwoods and Sequoias,
live corals of the
Great Barrier Reef,
dreamlike sandstone of the Wave

I touched magical and strange;
platypus, koalas and
kangaroos Down Under,
underwater alkali flies and
lacustrine tufa at Mono Lake,
astral glowing worms
in the Kawiti caves

I touched holy places;
Christianity's oldest churches,
the Pope's home in the Vatican,
Hindu and Sikh temples and
Moslem mosques in India,
Anasazi's kivas of Chaco canyon,
Aboriginal rocks of Uluru and Kata Tjuta

I touched glimmers of civilization;
uncovered roads of Pompeii,
fighting arenas of Rome,
terra cotta armies of Xian,
sharp stone points of the Apache,
pottery shards from the Navajo,
petroglyphs by the Jornada Mogollon

I touched fantastical things;
winds blowing on the
steppes of Patagonia,,
playas and craters of Death Valley,  
high peaks of the Continental Divide,
blazing white sands of the  
Land of Enchantment

I touched icons of liberty
and freedom;
the defended Alamo,
a fissured Liberty Bell,
an embracing Statue of Liberty,
the harbor of Checkpoints
Alpha, Bravo, and Charlie

I touched glorious things
made by man;
the monstrous Hoover Dam,
an exquisite Eiffel tower,
a soaring St Louis Arch,
an Art deco Empire State Building,
the sublime Golden Gate Bridge

I touched sparks from history;
the running path of an
Olympic flame just off Bourbon,
the last steps of Mohandas Ghandi
at Birla House before Godse,
******'s Eagle's nest and the
grounds over Der Führerbunker

I touched walls of power;
enclosed rings of the Pentagon,
steep steps of the
Great Wall of China,
untried bastions of
Peter and Paul's fortress,
fitted boulders of Machu Picchu

I touched strong hands;
of those conquering
Rommel's and ******'s hordes,
of cold warriors of
Chosin Reservoir,  
of forgotten soldiers of Vietnam,
of terrorist killers of today

I touched memories of war;
the somber Vietnam memorial,
the glorious Iwo Jima statue,
the cold slabs at Arlington,
the buried tomb of USS Arizonians,
Volgograd's Mother Russia  

I touched ugly things;
shreds of light in
Port Arthur's prison,
horrible smelly dust
in the streets from 9/11,
ash impregnated dirt
in the pits at Auschwitz

I touched oppressed freedom;
open ****** plazas
of Tiananmen Square,
smooth pipe and concrete
of the Berlin Wall,  
tall red brick walls
of the Moscow Kremlin

I touched constrained freedom;
heavy ankle and
wrist slave chains
in the South,
little windows
in Berlin's Stasi prison,
haunted cells in Alcatraz  

I touched remnants of madness;
wire and ovens of Auschwitz,
stacked chimneys and
wooden bunks of Birkenau,        
Ravensbruck, and Dachau,
the tomb of Lenin,
toppled Stalins

I touched hands of survivors;
of Leningrad's siege,
of German POWs and
of Russian fighters
of Stalingrad's battle,
of Cancer's scourges  

I touched grand things;
deep waters of the Pacific and Atlantic,
blue hills of Appalachia,
towering peaks of the Rockies,
high falls of Yosemite Valley,
bursting geysers of Yellowstone,
crashing glaciers of Antarctica and Alaska    

I touched times of adventure;
abseiling and zipping in Costa Rica,
packing Pecos wilds and Padre isles,
flying nap of earth Hueys to Meridian,
breaking arms in JRTC's box,
fighting Abu Sayyaf, and Jemaah
Islami in Zamboanga City

I touched through you;
wet sand beaches of  Mexico and Jamaica,
mysterious energy of the monoliths of Stonehenge,
rarefied air in front of the
Louvre's Mona Lisa,
ancient wonders of Giza,
Egypt's tombs and pyramids

We shared soft touches;
drifting in Bora Bora's
surreal waters,
joining hands camel trekking the
Outback's dry sands,
strolling along Tasmania's
eucalyptus forest trails

basking in swinging hammocks
under Fiji's bright sun,
scrambling in
Las Vegas' glittering and
red rock canyons,
kissing under the
Taj Mahal's symphony of arches

We shared touching deep waters;
propelled in gondolas
through the city of canals,
Drifting atop Uru cat boats on Lake Titticaca,
Swooping in jet boats
up a wild river in Talkeetna

Racing in speed boats
around Sydney's great harbour,
skimming in pangas in Puerto Ayora,
paddling the Kennebec for
East's best petroglyphs,
cruising Salzbergwerk's underwater lake

We touched scrumptious things;
Beignets and chicory coffee at DuMonde's in the Big Easy,
Hot *** with sesame sauce
in the walled city of Xian,
Peking duck, dimsum, scorpions,
snake and starfish on Wangfujing Snack Street

We touched delicious things
Crawfish heads and tails at JuJu's shack
and ten years at Jeanette's,
Langoustine at Poinciana's, Fjöruborðinus and Galapagos,
Cream cheese and loch bagels
at Ess-a' s in the Big Apple

I touched your hand riding;
hang loose waves of Waikiki,
a big green bus in Denali's awesomeness,
clip clopping carriages of Vienna, Paris,
Prague, New Orleans, Krakow,
Quebec City, and Zakopane,
the acapella sugar train of St Kitts

We shared touching on paths;
the highway 1 of Big Sur,
the Road of the Great Ocean,
the bahn to Buda and Pest,
the path to the North of Maine,
the trail of the Hoh rainforest,
and time after time, the way home

Yet,
I could spend
the next three decades,
in simple bliss,
having need for
touching nothing,
other than you!

©  2016 Jim Davis
A poem I wrote last year for my wife!  Posted now since it matches the HP' theme for today - "Places"

— The End —