Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
Megitta Ignacia Jul 2019
membingkai itu ada tujuannya
dilapisi kaca biar tidak terkotori
aku mengamplas ingatan yang sempat luntur
terbawa pada lamunan utuh & seruan sendu
silam, bertumpu berapi-api enggan berkeputusan asal
sampai kini, aku masih patuh pada prinsipku

kamu memintaku,
namun hatiku berprasangka itu rancangan induk
bukan asli pemintaanmu
kupilih menepikan diri
diam-diam berharap kamu bercerita lebih dalam
tapi nihil, malah indukmu maju
aku mau, tapi apa keputusan ini benar
pepetan restu, tekanan waktu
dihimpit ketakutan indukmu atas cemooh
orang, siapa? tetangga? saudara?

keengganan bersepaham
kuuji kamu dari belakang
menantang setara, seimbang, sejajar
lontaran kata pengundang debat
berlindung atas wejangan duda muda yang baik
"dua jenis prinsip tujuan pernikahan"
satu, untuk memulai keluarga baru
dua, untuk menyatukan keluarga
dengan kesadaran kupilih yang bertolak denganmu
karena saat itu aku belumuran ragu
sejauh mana kedewasaanmu?

kamu gagal pada tesmu,
tapi aku tetap bertahan kala itu,
setelah semua berjarak, mungkin kamu sadar ikatan pernikahan bukanlah hal main-main
kubedah diriku, ada setitik kekecewaan
seumpama semesta menghajarku dengan keras
tapi Ia tidak melepaskanku pada maut
disadarkanNya pula, inilah jawaban doa
"jauhkanlah aku dari yang jahat & dekatkanlah dengan yang baik"
jari manisku takkan tersemat cincin duri sebab ranting emas berbunga daisy telah memekarkan diri
230719 | 19:35 PM udah di kost Bali lagi, minum kopi sambil makan roti canai, ini luapan emosi, tentang transformasi ke arah yang baik. Tuhan menjaga kita semua.
Megitta Ignacia Mar 2020
satu tangan menutup mata
satu tangan menutup telinga
belikatku bertahan kaku
tiap pijakan pelan, terseok
belum leluasa ku berlari

terpaan gelombang yang sudah-sudah
masih meninggalkan goresan dalam daging
dibantu merangkak, tapi dipaksa berlari
caramu mengenyahkan biru yang masih menyelubungiku

takut
pada lidah sangkalan beradu
bukankah lancang mencipta imaji semu
lalu menggantungnya pada tiang-tiang garam
berharap keras, tak begitu meleset pada manusia
sadar, tak se-Esa
namun jika Bapa memberi
siapa yang bisa menutupnya?

target apa, begitu mendesakkah?
soal pembendaharaan rasa
apalagi rancangan
telah kuserahkan padaNya
aku dungu & tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat Bapa. Tetapi aku tetap didekat Bapa; Ia memegang tangan kananku.
140320 || 18:48 PM  lantai dua kosan, hmm sepertinya banyak poems-ku yang dimotori sama obrolan tentang hidup sm coworker sebelah meja, si ipul, kemarin lg ngobrol ga jelas sambil kerja ttg hubungan masing-masing, dia abis lamaran, sementara gw masih di fase abu-abu belajar adaptasi sm pasangan kesayangan yang nemenin hampir setahun lamanya. As ditanya hubungan mau dibawa kmn, gw blg ikut arus aja toh yg lama kandas padahal udah direncanain,  jd buat apa manusia berencana, pasti Tuhan udah atur yg terbaik. "Idup lo, lo yang atur. Ga bisa ngikut arus aja, harus punya target, udah umur brp lo." Berulang-ulang sampe berbusa dia bilang "ada masa depannya ga?" lalu gw bete karena sesulit itu untuk healing & masih sulit untuk berani berencana/berekspektasi apapun tp malah dijejelin pertanyaan yg ngeinduksi anxiety tp di 1 sisi juga bener harus dipikirin. Kewalahan berperang sm pikiran sendiri, pagi tadi buka sermon  kata-kata ps. Phillip Mantofa " kalau tidak tahu apa langkah berikutnya, jangan gelisah hatimu, percayalah & berserah pada Allah." Berencana aja, trs serahin semua rencana ke yg punya sorga, God will lead the way. Ada bagian dari Mazmur 73:21-23 dalam puisi ini.
VM Sep 16
Kala itu aku menonton sebuah film yang ramai diperbincangkan di seantero negeri. Kabar perihal kebagusannya menyebar laksana angin, maka aku pun datang tanpa curiga, tanpa sangsi. Terlebih, banyak sineas serta pelakon yang mengangkatnya, mengisahkan air mata dan tawa mereka setelah selesai menontonnya. Aku, manusia yang paling mudah diguncang rasa, bukan lantaran sedih, melainkan lantaran hatiku lekas tersentuh. Mataku pun basah, bukan karena duka, melainkan karena terharu melihat sepasang kekasih di layar berbahagia.

Siapakah yang hadir di benakku kala itu? Apa gerangan yang berputar di dalam pikiranku? Engkau. Namun engkau yang mana? Aku tiada tahu. Mungkin bukan engkau yang kelak menjadi teman hidupku. Jika engkau membaca ini—wahai belahan jiwa—janganlah kau sembunyikan rasa hatimu. Jika ia penting, ucapkanlah. Niscaya aku akan mengerti mengapa engkau berkata, mengapa engkau mengingat tulisan ini.

Yang kuingat kala menonton film itu ialah seseorang yang, pada tahun dua ribu dua puluh lima, pernah bertaut hati denganku. Setelah lama aku sendiri, aku berani membuka pintu hati. Namun jangan tersalah: bukan ia yang membukanya. Akulah yang memberanikan diri meloncat ke kolam, padahal belum jua kupelajari cara berenang. Namun aku ingin belajar. Ketika hubungan itu usai hanya dalam empat bulan, aku teringat, aku memang baru belajar berenang. Namun kelak akan kupilih ombak yang hendak kuarungi, kutemukan samudra yang tak berbatu karang, agar luka tak lagi singgah di tubuhku.

Mengapa aku teringat dirinya? Karena aku tahu, tiada kuasa untuk mengubah siapa pun dari kami berdua. Aku pun enggan mengubahnya. Bukan sebab kami telah dewasa—sebab kedewasaan bukanlah perkara usia. Aku pun kerap merasa kanak-kanak, ia pun demikian. Maka aku tak hendak mengubahnya, sebab tak ingin terjerat lebih jauh dalam takdir hubungan ini. Aku tahu ia tak akan kekal, karena di celahnya kulihat diriku bisa menjelma menjadi monster, bisa melukai dengan kata, dengan tangan, dengan kaki. Tak kupilih jalan itu. Dengarlah: ini bukan semata-mata untuk melindungi hatinya, melainkan agar wajahku tak ternodai oleh amarahku sendiri.

Lalu ingatanku terarah kepada seorang pria lain, yang pernah kucintai sedalam itu. Kami tak pernah bersanding, tak pernah menjadi sepasang, bahkan hingga kini hanya bertukar kata sederhana: “Aku sayang engkau.” Begitu dalam rasa itu, walau ada orang lain yang saban hari mengucap “Aku cinta kau” dalam bahasa manisnya, hatiku tak pernah benar-benar mengamini. Aku pun tak menaruh harapan kepada pria yang paling kucintai itu hingga detik ini aku menulis. Aku hanya tahu: kami saling cinta, saling sayang, tetapi usaha kami untuk menjaga rasa itu nyaris tiada.

Maka biarkan ia masak sampai hangus, sampai menjadi abu. Barangkali kami tak akan pernah menjadi sepasang, tetapi yang kurasakan nyata adanya. Dari dia aku belajar, bahwa aku akan menempuh segala jalan demi cinta. Ia akan tergantikan kelak oleh pria lain, namun ia adalah cetak biru. Rumah yang akan kubangun akan selalu berpijak pada rancangan itu. Aturannya jelas: setia, tulus, mengutarakan rasa, berkomitmen melampaui kata “sayang.”

Terima kasih, karena telah memperlihatkan wajah cinta, meski pahitnya membuat dada terasa sesak. Lihatlah, bertahun-tahun aku berjalan, bertemu dengan banyak lelaki, tetapi engkau masih menetap di kepala. Betapa pentingnya engkau. Semoga aku pun sepenting itu di kehidupanmu. Kini aku dapat menerima: engkau datang hanya untuk mengajarkanku cara mencinta, bukan untuk menjadi milikku selamanya. Setiap insan akan pergi, baik oleh hidup maupun mati.

Sejujurnya, aku bahkan lupa bagaimana parasmu. Memalukan? Tidak. Sebab yang tinggal hanyalah rasa. Kini aku tahu bagaimana aku ingin dicinta, bagaimana aku hendak mencinta, agar sebuah pertautan dapat bertahan.

Namun, perlukah pasangan hidupku kelak gentar akan rasa yang pernah kumiliki untuk pria itu? Tentu tidak. Segalanya telah lama berlalu. Aku sadar, mengucap “sayang” padanya pun tak pernah membuat kami menjadi sesuatu. Ya, aku mencintainya, tetapi tak ingin menjadi apa-apa. Pesan darinya yang datang di malam hari barangkali masih membuatku tersenyum, tetapi kesedihan tak lagi hinggap. Aku tahu, aku tak akan pernah kehilangannya.

Ia akan selalu ada, jika aku suatu hari tak lagi memiliki pilihan, jika aku sendiri dan perlu diyakinkan bahwa ada yang masih mau menungguku, yang masih mau berkata ia mencintaiku. Apakah ia kehilangan aku? Ya. Dahulu aku terluka, mempertanyakan rupa hubungan kami, mencari cinta sebesar yang kuberi. Dan ternyata kami memang saling cinta. Maka biarlah. Tak ada lagi yang dapat kuperbuat. Kini aku tak lagi berduka. Wahai kasihku, pasanganku, ia hanyalah masa lalu. Ia tak perlu menjadi milikku. Hatiku tak ingin memilikinya, hatinya pun tak ingin memiliki aku.

Itulah yang kurasakan. Kita tak perlu tahu bagaimana rasanya menjadi dia. Itu tak penting. Yang kupanjatkan hanyalah harapan: ketika kelak aku telah membenahi diriku sebaik mungkin, semua itu bukan hanya untukmu—wahai pasanganku, cintaku—melainkan juga untuk setiap insan yang kucinta. Akan kuusahakan agar hidup kita berjalan sebaik-baiknya, meski hari-hari mungkin kelak menjadi lebih berat daripada hari ini.

Cintaku tak akan pudar padamu. Dan jangan engkau bertanya, sebab cintaku bukan semata untuk pria itu—cintaku seluas itu. Namun tak akan kupinjamkan hatiku kepadanya, tak akan kubagi meski sebutir debu. Jika ia memilih menyimpanku di sudut hatinya, biarkanlah. Kita tak perlu tahu. Jangan kita pernah mencarinya.

Aku akan mencintaimu selama napasku masih berhembus, selama janji kita untuk sehidup semati masih bergaung di dada. Engkaulah yang akan kutunggu, di hari terakhirmu, di hari terakhirku, atau di hari terakhir kita bersama.

— The End —