Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Raihah Mior Dec 2017
Dalam retrospeksi
minda naif kecilku pernah berimaginasi
memikirkan dunia luar sana yang bagaikan fantasi
hati merontakan suatu kebebasan yang diimpi
namun kini ku sedari, itu semua hanyalah persepsi
seorang gadis kecil yang dahulunya bercita-cita tinggi
masa sudah tiba untuk kembali ke realiti.

Selamat datang ke Kota Korupsi
di mana manusia-manusia bertopengkan syaitan
kehausan kuasa, kerakusan harta duniawi
dipuja, dipuji dan disanjung tinggi
pil penawar pula makanan ruji untuk depresi
tiada lagi tempat mengadu, tempat meluahkan hati
hanya tinggal kata-kata yang kehilangan erti
terpapar di kotak skrin empat segi.

Bangsaku semakin alpa, agamaku jauh sekali
soal halal haram tidak dipertikaikan lagi
hanya topik sembang santai di kedai kopi
bicara hari nanti ditolak dahulu ke tepi.

Dunia yang dahulu semakin pudar
hanya serpihan di hujung sudut memori
masa berlalu terlalu pantas, terlepas dari jari-jemari
sekarang sudahpun tiba generasi baru menapakkan kaki
namun, lihatlah sejarah mengulangi dirinya sekali lagi
selagi nafas belum terhenti
selagi kita belum pergi.
My first actual sajak written for my Penulisan Kreatif class. Not my best work, but I'm genuinely quite proud of it. We had to recite it in class and I actually did it, with hand movements, ****** expressions, intonation, all that jazz (it was even accompanied by a Tron soundtrack hahahah). Basically the poem's just a little commentary on what globalization has brought to the people of my side of town. But I guess it applies to everyone too. The world keeps changing and evolving anyway. What are we to do. *shrugs*
Diska Kurniawan Sep 2016
Tahukah kamu, di tepi jendela itulah
Cinta dan kasih kusimpan
Lalu kau terbang semilir dan mencuri
Setiap tak ku tutup jendelanya

Tahukah kamu, berembun juga kaca
Jika di tepi jendela kau tiup rasa
Menjadi buram, dan tak sejernih air pula
Pandangan matanya?

Jika nanti ku kunci engselnya
Engkau tak bisa meluncur seenaknya
Meniup gundah keluar kamar
Hingga sinar senja membayang pudar

Jika nanti kau masuk
Sebagai kupu-kupu lembayung
Yang terhuyung hinggap di tepi jendela
Temani aku, sebentar saja

Ditepi jendela aku kehilangan
Cinta kasihku, ketika
Kau bersemilir masuk
Dan mencuri keduanya
Lihatlah ke tepian jendela itu, yang tak bersudut.
Gymnossienne Jul 2014
Aku mengejarmu
ke tempat bayanganmu pernah singgah
Mencari suaramu di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur
Sepi menoreh di tengah keramaian
Ketika orang mabuk oleh ilusi,
Aku sadar akan ketiadaan
Ketika mereka tenggelam dalam lautan cahaya,
Aku pudar dalam kelamnya sunyi
Mengejarmu ke kota yang telah kau tinggalkan

-------

I'm chasing you
to the place your shadow once alighted
Finding your voice in the midst of cacophony
of the city that never sleeps
Solitude incised through the crowd
People are drunk with illusion
Alone I am aware of the void
They are drowned in a sea of lights
I am fading inside the leaden silence
Chasing you to the place you've left behind
lillium Apr 2019
ibu
istirahatlah untuk sejenak
pendar hangatmu masih istimewa
“selamat malam” mu masih ku simpan untuk malam malam yang tidak bisa ku jinak-kan
jangan khawatir ibu
istirahatlah untuk sejenak
temui aku saat kau muda kembali
dan kerut senyum mu pudar abadi
untuk mbah ti, yang paling spesial dari semua purnama yang pernah ku temui terimakasih telah merawat ayah mbah, aku berharap bisa menemuimu nanti
Alin M Oct 2020
Sayang,
Sungguh pun kamu tidak lagi wujud dalam duniaku,
Rasa sayang ini terhadap kamu tidak pernah pudar,
Rasa sayang ini tulus buat kamu,
Walaupun kamu akan menepisnya secara rasionalnya pemikiran kamu,

Sayang,
Kasih ini menanti saat mu disisi ini lagi,
Walaupun buat seketika sahaja,
Kerana kasih ini sangat merindui sahabatnya — iaitu kamu,
Yang sering mendampingi suatu masa dahulu,

Sayang,
Aku harap kamu baik-baik aja di sana,
Sungguh pun kehadiran ku dalam duniamu tidak diingini lagi,
Namun aku harap suatu hari nanti kasih ini dapat melewati kamu,
Demi menghadiahkan rindu yang telah lama disimpan buat kamu.
Indri Fitriani Sep 2024
Menanti dalam hening yang panjang,  
jarum waktu tak kunjung berbelok.  
Detik-detik terhenti di angkasa kelam,  
aku tunggu pukul 21:00, dengan harapan.

Namun, saat itu datang, ia terbang.  
Fase yang aku tunggu pudar di angin malam,  
jejaknya lenyap tanpa kesan,  
dan kini yang tersisa hanyalah bayang.

Apakah ini luka yang membiru,  
menoreh lembut di dada tanpa suara?  
Ataukah sekadar angan yang terbang jauh,  
meninggalkan ruang kosong di relung jiwa?

Mungkin luka, mungkin juga rindu,  
menghilang bersama waktu yang tak pernah tahu.  
Tetap kau berdiri di bawah langit biru,  
menghitung bintang yang pernah jatuh,  
sambil menanti, dalam luka yang samar membiru.
VM Sep 16
Kala itu aku menonton sebuah film yang ramai diperbincangkan di seantero negeri. Kabar perihal kebagusannya menyebar laksana angin, maka aku pun datang tanpa curiga, tanpa sangsi. Terlebih, banyak sineas serta pelakon yang mengangkatnya, mengisahkan air mata dan tawa mereka setelah selesai menontonnya. Aku, manusia yang paling mudah diguncang rasa, bukan lantaran sedih, melainkan lantaran hatiku lekas tersentuh. Mataku pun basah, bukan karena duka, melainkan karena terharu melihat sepasang kekasih di layar berbahagia.

Siapakah yang hadir di benakku kala itu? Apa gerangan yang berputar di dalam pikiranku? Engkau. Namun engkau yang mana? Aku tiada tahu. Mungkin bukan engkau yang kelak menjadi teman hidupku. Jika engkau membaca ini—wahai belahan jiwa—janganlah kau sembunyikan rasa hatimu. Jika ia penting, ucapkanlah. Niscaya aku akan mengerti mengapa engkau berkata, mengapa engkau mengingat tulisan ini.

Yang kuingat kala menonton film itu ialah seseorang yang, pada tahun dua ribu dua puluh lima, pernah bertaut hati denganku. Setelah lama aku sendiri, aku berani membuka pintu hati. Namun jangan tersalah: bukan ia yang membukanya. Akulah yang memberanikan diri meloncat ke kolam, padahal belum jua kupelajari cara berenang. Namun aku ingin belajar. Ketika hubungan itu usai hanya dalam empat bulan, aku teringat, aku memang baru belajar berenang. Namun kelak akan kupilih ombak yang hendak kuarungi, kutemukan samudra yang tak berbatu karang, agar luka tak lagi singgah di tubuhku.

Mengapa aku teringat dirinya? Karena aku tahu, tiada kuasa untuk mengubah siapa pun dari kami berdua. Aku pun enggan mengubahnya. Bukan sebab kami telah dewasa—sebab kedewasaan bukanlah perkara usia. Aku pun kerap merasa kanak-kanak, ia pun demikian. Maka aku tak hendak mengubahnya, sebab tak ingin terjerat lebih jauh dalam takdir hubungan ini. Aku tahu ia tak akan kekal, karena di celahnya kulihat diriku bisa menjelma menjadi monster, bisa melukai dengan kata, dengan tangan, dengan kaki. Tak kupilih jalan itu. Dengarlah: ini bukan semata-mata untuk melindungi hatinya, melainkan agar wajahku tak ternodai oleh amarahku sendiri.

Lalu ingatanku terarah kepada seorang pria lain, yang pernah kucintai sedalam itu. Kami tak pernah bersanding, tak pernah menjadi sepasang, bahkan hingga kini hanya bertukar kata sederhana: “Aku sayang engkau.” Begitu dalam rasa itu, walau ada orang lain yang saban hari mengucap “Aku cinta kau” dalam bahasa manisnya, hatiku tak pernah benar-benar mengamini. Aku pun tak menaruh harapan kepada pria yang paling kucintai itu hingga detik ini aku menulis. Aku hanya tahu: kami saling cinta, saling sayang, tetapi usaha kami untuk menjaga rasa itu nyaris tiada.

Maka biarkan ia masak sampai hangus, sampai menjadi abu. Barangkali kami tak akan pernah menjadi sepasang, tetapi yang kurasakan nyata adanya. Dari dia aku belajar, bahwa aku akan menempuh segala jalan demi cinta. Ia akan tergantikan kelak oleh pria lain, namun ia adalah cetak biru. Rumah yang akan kubangun akan selalu berpijak pada rancangan itu. Aturannya jelas: setia, tulus, mengutarakan rasa, berkomitmen melampaui kata “sayang.”

Terima kasih, karena telah memperlihatkan wajah cinta, meski pahitnya membuat dada terasa sesak. Lihatlah, bertahun-tahun aku berjalan, bertemu dengan banyak lelaki, tetapi engkau masih menetap di kepala. Betapa pentingnya engkau. Semoga aku pun sepenting itu di kehidupanmu. Kini aku dapat menerima: engkau datang hanya untuk mengajarkanku cara mencinta, bukan untuk menjadi milikku selamanya. Setiap insan akan pergi, baik oleh hidup maupun mati.

Sejujurnya, aku bahkan lupa bagaimana parasmu. Memalukan? Tidak. Sebab yang tinggal hanyalah rasa. Kini aku tahu bagaimana aku ingin dicinta, bagaimana aku hendak mencinta, agar sebuah pertautan dapat bertahan.

Namun, perlukah pasangan hidupku kelak gentar akan rasa yang pernah kumiliki untuk pria itu? Tentu tidak. Segalanya telah lama berlalu. Aku sadar, mengucap “sayang” padanya pun tak pernah membuat kami menjadi sesuatu. Ya, aku mencintainya, tetapi tak ingin menjadi apa-apa. Pesan darinya yang datang di malam hari barangkali masih membuatku tersenyum, tetapi kesedihan tak lagi hinggap. Aku tahu, aku tak akan pernah kehilangannya.

Ia akan selalu ada, jika aku suatu hari tak lagi memiliki pilihan, jika aku sendiri dan perlu diyakinkan bahwa ada yang masih mau menungguku, yang masih mau berkata ia mencintaiku. Apakah ia kehilangan aku? Ya. Dahulu aku terluka, mempertanyakan rupa hubungan kami, mencari cinta sebesar yang kuberi. Dan ternyata kami memang saling cinta. Maka biarlah. Tak ada lagi yang dapat kuperbuat. Kini aku tak lagi berduka. Wahai kasihku, pasanganku, ia hanyalah masa lalu. Ia tak perlu menjadi milikku. Hatiku tak ingin memilikinya, hatinya pun tak ingin memiliki aku.

Itulah yang kurasakan. Kita tak perlu tahu bagaimana rasanya menjadi dia. Itu tak penting. Yang kupanjatkan hanyalah harapan: ketika kelak aku telah membenahi diriku sebaik mungkin, semua itu bukan hanya untukmu—wahai pasanganku, cintaku—melainkan juga untuk setiap insan yang kucinta. Akan kuusahakan agar hidup kita berjalan sebaik-baiknya, meski hari-hari mungkin kelak menjadi lebih berat daripada hari ini.

Cintaku tak akan pudar padamu. Dan jangan engkau bertanya, sebab cintaku bukan semata untuk pria itu—cintaku seluas itu. Namun tak akan kupinjamkan hatiku kepadanya, tak akan kubagi meski sebutir debu. Jika ia memilih menyimpanku di sudut hatinya, biarkanlah. Kita tak perlu tahu. Jangan kita pernah mencarinya.

Aku akan mencintaimu selama napasku masih berhembus, selama janji kita untuk sehidup semati masih bergaung di dada. Engkaulah yang akan kutunggu, di hari terakhirmu, di hari terakhirku, atau di hari terakhir kita bersama.

— The End —