Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Joshua Soesanto Jun 2014
sajak yang terulang
semua terlihat sama
balkon di pagi hari dengan kopi kita
bercengkerama lepas kata

rasa manis tanpa gula terasa
kita masih tetap bertukar kisah
dari hulu ke hilir tanpa derasnya alur
kita masih tetap saling menghibur

akan ada waktu
waktu di antara batas cemburu dan kerelaan
menerima kenyataan
sebagai buah resonansi pengakuan

kamu selalu bisa menerjemahkan
rasa yang tak sempat singgah
sederet sajak demi sajak, aku begah
kapan terhenti?
terhenti saat di culik damai
pertanda bahwa jiwa kita pergi
kata itu diam
sediam damai itu sendiri

langit biru mendayu
tapi mata ini semu
hanya bayangan perlahan melayu
haru..
karena tak sempat menyentuhmu

hanya memaksa sumpah
menanak lelah
meminum darah
sedikit sengatan lebah, aku pun rebah
terbangun, lalu ingat
ternyata ada..ya..ada
seikat warna yang tak pernah kita miliki

ternyata kau pun tahu, aku menunggu
dari balik pohon tua di seberang sungai
"tunggu sajalah, sampai lumut memakan dinding waktu"
abu-abu, karena takut jatuh hati

kamu di bawa pergi seorang tuan
dengan kapal bernama masa lalu
sedangkan aku disini
diam-diam menyulam awan menjadi kamu

jika kamu
di antara damai dan terang
aku rela menyembunyikan bintang
aku rela menyembunyikan mentari
aku rela menyandera damai semesta
karena kamu keajaiban
yang aku panggil dalam percakapan bisu
tanpa suara

sejauh perjalanan mata dan hati
aku pun pergi
tak sempat menoleh kebelakang
hanya menitipkan pesan tak harap balasan

semoga harimu bermuara pada kesederhanaan
sesederhana tuhan menaruh cinta baru tiap pagi
sesederhana embun pada dedadunan
sesederhana matahari..
indah dan jatuh begitu eloknya
sesederhana..
sesederhana..

kamu apa adanya.
Dustin Tebbutt - The Breach #Nowplaying #Tracklist
Aku memiliki seribu mimpi tapi ibu bilang aku tak tahu diri
Tak mengerti keadaan dan kondisi, akupun berhenti membicarakan itu dengannya.
Kopi panas yang ku seduh dengan kekecewaan kemarin pagi diseruput lega olehnya.
"Jadikan perkataan mereka cambuk bagimu"
Salah seorang teman pernah berkata begitu padaku.
Tapi kepalaku ini berisi setan-setan bengal!
Mereka hanya mengerti kesedihan dan kemarahan.
Aku tidur dengan tangan penuh tinta merah setiap malam,
berusaha memindahkan kotak-kotak terlarang dari sudut mimpi ke ruang kegagalan.
Mereka berhenti mencoba membunuhku tapi kali ini mereka menaruh racun disetiap gelas yang akan ku teguk
Bukan! Bukan racun mematikan
tapi cukup membuat jiwaku lumpuh untuk waktu yang tak menentu
Aku berhenti membicarakan mimpi-mimpiku kepada siapapun
Aku tak ingin mimpi yang tersisa hancur diinjak-injak oleh kaki yang bahkan tak peduli berapa lama aku membangunnya 'kembali'
Tahun-tahun tak bernyawa
Meludah kata-kata serapah seakan hatiku dinding beton dingin
Kecukupan seperti apa yang membuat mereka bahagia!
Atau biarkan aku tergeletak di kasur lembut itu
Jangan! Jangan coba bangunkan aku
Mungkin ketenangan di dalam sana mampu meredam kekacauan di kepala malamku
#puisi #mimpi
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
nabilah Dec 2019
Mana pernah kau paham tentang perasaanku walau berulang kali sudah kusampaikan. Sekedar mendengar saja tidak. Sudah tau begitu, masih pula aku menaruh pengharapan yang besarnya melebih-lebihi besar nafsu makanku. Kasihan ya melihat naifku ini. Memaksakan sesuatu yang sudah mati.
Aku ini kadang ingin terbahak karena lucunya kisah kamu dan aku, tapi anehnya masih selalu membuatku terpana, seperti terhipnots. Kepalaku yang sekeras batu dan hatiku yang serapuh kulit telur disanding dengan kepalamu yang pula berisikan batu, juga hatimu yang sedingin kutub utara sebelum global warming. Aku dan diriku, dan kamu dengan dirimu. Memang benar mungkin, kita hanya ditemukan untuk saling belajar, bukan untuk berakhir bersatu.
Sebenar-benarnya, kamu adalah yang aku mau. Tapi rasanya permintaanku ini terlalu bertele-tele jika yang ku minta adalah kamu dan tidak ada luka. Karena memilih bersamamu akan selalu satu paket dengan luka dan perih. Aku saja yang sombongnya setengah mati, menutup mata dari ratusan pertanda yang Tuhan berikan.
Sito Fossy Biosa Apr 2020
KAMU MENGAKU CINTA AKU-Oklasasadu, yang seisi ruh berdiri melamun.
Oklasasadu, yang biasanya menaruh tangan kananmu di telinga kiriku.
Oklasasadu, pendek pun kali luas menguap berbisa tubuh bukan lagi ruh.
Oklasasadu, mana guna jika mungkin tersisa iri, ruh ini sebagai bukti, HANYA tuhan YANG MEMBENCIKU.

Tadi adalah mimpi, saat Oklasasadu terdapat sapa.
Keluar masuk tanpa rasa, Oklasasadu di saat masa yang hening lagi menyapa dia.
Melihat Oklasasadu sepertinya berubah mentega diantara saya.
Setahuku Oklasasadu hanya benci padanya.
Dia pikir Oklasasadu tidak pernah sadar, adanya dia berulah saja.

Bangun siang di tengah malam, ada Oklasasadu berbunyi (a ku la mu nan mu) diulang hingga benar-benar tenang dalam dirinya. Him. Membunuh dengan halusnya empati.
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙
I'm Phoenix Jan 2020
Tidak ada yang namanya "harapan palsu",
hanya kamu yang menaruh harapan tinggi kepada seseorang yang salah
Gina Sonya Apr 3
Sedari kecil, aku mendambakan sepasang sayap di belakang punggung.

Ingin aku arungi langit yang melintang dengan bebas. Ingin aku jelajahi awan yang seperti gumpalan kapas. Ingin aku miliki sepasang sayap agar anganku lepas.

Burung-burung yang mengambang melantunkan tawa bahagia. Ketika aku menengadah, pandangan mereka jatuh menimpa iris jelaga. "Kenapa kamu tidak terbang?" kicauan mereka membentuk kalimat tanya.

"Aku ingin, tapi takdir menyuruh aku menapaki tanah," timpalku sedikit berteriak.

Burung-burung tertawa, melingkari kepalaku dengan serangkai gelak. Aku termenung, menatap sayap-sayap yang terbang menjauh.

Andai aku bisa terbang, akan aku susul mereka yang mengambang. Akan aku lintasi awan sampai berlubang. Akan aku imbangi laju mereka tanpa secuil bimbang.

Sayangnya, aku tidak bisa terbang.

Aku cuma bisa menengadah, menatap biru dan biru dan biru yang membentang. Aku pandangi tirai biru sampai warnanya bergeser jadi abu.

Siang yang biru diganti malam yang kelabu. Mirip seperti mimpi-mimpi yang dengan cepat menjadi semu.

Pikirku, sedari dulu mimpiku selalu gagal bertaruh. Mungkin aku terlalu belagu? Terlalu banyak menaruh harap pada hidup?

Aku berusaha maklum, berdamai dengan gagal yang mengikuti aku seperti hantu. Namun, terbang seperti burung adalah satu-satunya mimpi yang tidak mau aku buat luruh.

Aku ingin terbang, menyapa semilir angin yang menerpa wajah. Aku ingin terbang, merangkai kapas di atas awan untuk menutup luka.

Aku ingin terbang. Aku ingin terbang. Aku ingin damai datang ketika tubuhku melayang di udara.

Maka, kepada Tuhan yang tinggalnya jauh di atas semesta, aku mohon dengan amat sangat agar aku bisa terbang.

Aku menaiki undakan, menatap gemerlap kota yang mengimitasi kawanan kunang-kunang. Kedua tangan aku rentangkan, berharap Tuhan menjahit sayap yang kilau gemilang. Aku melompat, menantang kelam yang memenuhi langit malam.

Aku terbang.
Nabiila Marwaa Nov 2020
katakanlah, aku celaka
tersandung ke dalam lumbung asmara.
celaka kah aku
mengendap-endap di sekitar pintu hati-mu?
katakanlah, aku terkutuk
seorang yang tak diundang
tak semestinya duduk di ruang tamu.
terkutuk kah aku
menaruh asa di atas hampa?
VM Sep 16
Kala itu aku menonton sebuah film yang ramai diperbincangkan di seantero negeri. Kabar perihal kebagusannya menyebar laksana angin, maka aku pun datang tanpa curiga, tanpa sangsi. Terlebih, banyak sineas serta pelakon yang mengangkatnya, mengisahkan air mata dan tawa mereka setelah selesai menontonnya. Aku, manusia yang paling mudah diguncang rasa, bukan lantaran sedih, melainkan lantaran hatiku lekas tersentuh. Mataku pun basah, bukan karena duka, melainkan karena terharu melihat sepasang kekasih di layar berbahagia.

Siapakah yang hadir di benakku kala itu? Apa gerangan yang berputar di dalam pikiranku? Engkau. Namun engkau yang mana? Aku tiada tahu. Mungkin bukan engkau yang kelak menjadi teman hidupku. Jika engkau membaca ini—wahai belahan jiwa—janganlah kau sembunyikan rasa hatimu. Jika ia penting, ucapkanlah. Niscaya aku akan mengerti mengapa engkau berkata, mengapa engkau mengingat tulisan ini.

Yang kuingat kala menonton film itu ialah seseorang yang, pada tahun dua ribu dua puluh lima, pernah bertaut hati denganku. Setelah lama aku sendiri, aku berani membuka pintu hati. Namun jangan tersalah: bukan ia yang membukanya. Akulah yang memberanikan diri meloncat ke kolam, padahal belum jua kupelajari cara berenang. Namun aku ingin belajar. Ketika hubungan itu usai hanya dalam empat bulan, aku teringat, aku memang baru belajar berenang. Namun kelak akan kupilih ombak yang hendak kuarungi, kutemukan samudra yang tak berbatu karang, agar luka tak lagi singgah di tubuhku.

Mengapa aku teringat dirinya? Karena aku tahu, tiada kuasa untuk mengubah siapa pun dari kami berdua. Aku pun enggan mengubahnya. Bukan sebab kami telah dewasa—sebab kedewasaan bukanlah perkara usia. Aku pun kerap merasa kanak-kanak, ia pun demikian. Maka aku tak hendak mengubahnya, sebab tak ingin terjerat lebih jauh dalam takdir hubungan ini. Aku tahu ia tak akan kekal, karena di celahnya kulihat diriku bisa menjelma menjadi monster, bisa melukai dengan kata, dengan tangan, dengan kaki. Tak kupilih jalan itu. Dengarlah: ini bukan semata-mata untuk melindungi hatinya, melainkan agar wajahku tak ternodai oleh amarahku sendiri.

Lalu ingatanku terarah kepada seorang pria lain, yang pernah kucintai sedalam itu. Kami tak pernah bersanding, tak pernah menjadi sepasang, bahkan hingga kini hanya bertukar kata sederhana: “Aku sayang engkau.” Begitu dalam rasa itu, walau ada orang lain yang saban hari mengucap “Aku cinta kau” dalam bahasa manisnya, hatiku tak pernah benar-benar mengamini. Aku pun tak menaruh harapan kepada pria yang paling kucintai itu hingga detik ini aku menulis. Aku hanya tahu: kami saling cinta, saling sayang, tetapi usaha kami untuk menjaga rasa itu nyaris tiada.

Maka biarkan ia masak sampai hangus, sampai menjadi abu. Barangkali kami tak akan pernah menjadi sepasang, tetapi yang kurasakan nyata adanya. Dari dia aku belajar, bahwa aku akan menempuh segala jalan demi cinta. Ia akan tergantikan kelak oleh pria lain, namun ia adalah cetak biru. Rumah yang akan kubangun akan selalu berpijak pada rancangan itu. Aturannya jelas: setia, tulus, mengutarakan rasa, berkomitmen melampaui kata “sayang.”

Terima kasih, karena telah memperlihatkan wajah cinta, meski pahitnya membuat dada terasa sesak. Lihatlah, bertahun-tahun aku berjalan, bertemu dengan banyak lelaki, tetapi engkau masih menetap di kepala. Betapa pentingnya engkau. Semoga aku pun sepenting itu di kehidupanmu. Kini aku dapat menerima: engkau datang hanya untuk mengajarkanku cara mencinta, bukan untuk menjadi milikku selamanya. Setiap insan akan pergi, baik oleh hidup maupun mati.

Sejujurnya, aku bahkan lupa bagaimana parasmu. Memalukan? Tidak. Sebab yang tinggal hanyalah rasa. Kini aku tahu bagaimana aku ingin dicinta, bagaimana aku hendak mencinta, agar sebuah pertautan dapat bertahan.

Namun, perlukah pasangan hidupku kelak gentar akan rasa yang pernah kumiliki untuk pria itu? Tentu tidak. Segalanya telah lama berlalu. Aku sadar, mengucap “sayang” padanya pun tak pernah membuat kami menjadi sesuatu. Ya, aku mencintainya, tetapi tak ingin menjadi apa-apa. Pesan darinya yang datang di malam hari barangkali masih membuatku tersenyum, tetapi kesedihan tak lagi hinggap. Aku tahu, aku tak akan pernah kehilangannya.

Ia akan selalu ada, jika aku suatu hari tak lagi memiliki pilihan, jika aku sendiri dan perlu diyakinkan bahwa ada yang masih mau menungguku, yang masih mau berkata ia mencintaiku. Apakah ia kehilangan aku? Ya. Dahulu aku terluka, mempertanyakan rupa hubungan kami, mencari cinta sebesar yang kuberi. Dan ternyata kami memang saling cinta. Maka biarlah. Tak ada lagi yang dapat kuperbuat. Kini aku tak lagi berduka. Wahai kasihku, pasanganku, ia hanyalah masa lalu. Ia tak perlu menjadi milikku. Hatiku tak ingin memilikinya, hatinya pun tak ingin memiliki aku.

Itulah yang kurasakan. Kita tak perlu tahu bagaimana rasanya menjadi dia. Itu tak penting. Yang kupanjatkan hanyalah harapan: ketika kelak aku telah membenahi diriku sebaik mungkin, semua itu bukan hanya untukmu—wahai pasanganku, cintaku—melainkan juga untuk setiap insan yang kucinta. Akan kuusahakan agar hidup kita berjalan sebaik-baiknya, meski hari-hari mungkin kelak menjadi lebih berat daripada hari ini.

Cintaku tak akan pudar padamu. Dan jangan engkau bertanya, sebab cintaku bukan semata untuk pria itu—cintaku seluas itu. Namun tak akan kupinjamkan hatiku kepadanya, tak akan kubagi meski sebutir debu. Jika ia memilih menyimpanku di sudut hatinya, biarkanlah. Kita tak perlu tahu. Jangan kita pernah mencarinya.

Aku akan mencintaimu selama napasku masih berhembus, selama janji kita untuk sehidup semati masih bergaung di dada. Engkaulah yang akan kutunggu, di hari terakhirmu, di hari terakhirku, atau di hari terakhir kita bersama.

— The End —