Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Sito Fossy Biosa May 2020
Aku sudah tidak mencintaimu lagi
aKu sudah tidak mencintaimu lagi
akU sudah tidak mencintaimu lagi
aku Sudah tidak mencintaimu lagi
aku sUdah tidak mencintaimu lagi
aku suDah tidak mencintaimu lagi
aku sudAh tidak mencintaimu lagi
aku sudaH tidak mencintaimu lagi
aku sudah Tidak mencintaimu lagi
aku sudah tIdak mencintaimu lagi
aku sudah tiDak mencintaimu lagi
aku sudah tidAk mencintaimu lagi
aku sudah tidaK mencintaimu lagi
aku sudah tidak Mencintaimu lagi
aku sudah tidak mEncintaimu lagi
aku sudah tidak meNcintaimu lagi
aku sudah tidak menCintaimu lagi
aku sudah tidak mencIntaimu lagi
aku sudah tidak menciNtaimu lagi
aku sudah tidak mencinTaimu lagi
aku sudah tidak mencintAimu lagi
aku sudah tidak mencintaImu lagi
aku sudah tidak mencintaiMu lagi
aku sudah tidak mencintaimU lagi
aku sudah tidak mencintaimu Lagi
aku sudah tidak mencintaimu lAgi
aku sudah tidak mencintaimu laGi
a-ku s-udah t-idak m-encintaimu l-agI
t-      u-          h-         a-                     n-

*sudah kuduga itu ulahmu.
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Tama na. ilang beses ko pa bang uulitin sa sarili ko ang tama na. Tama na sa pag-asa na maaaring mahalin rin niya ako. Tama na na lagging ako lang ang nagmamalasakit pero sa huli’y masasaktan ka lang. Tama na na lagi akong nagbibigay at siya’y kuha nang kuha lang. Tama na na lagi akong talunan sa bawat paglundag. Tama na na lagi akong umiibig at sa dulo’y sasabihing “kaibigan lang kita”.
Tama na siguro na marami nang beses na lagi akong nagpakatanga para sa’yo. Tama na siguro na lagi na lang akong umaasa na darating ka sa pintuan at sasabihing iba na ang iyong nararamdaman. Tama na rin siguro ang lagi kong pag-aalala kung “nasaan ka na?”, “kumain ka ba?”, “may payong ka bang dala bilang pananggalang sa malakas na ulan?”. Tama na siguro na lagi akong naging yaya, ina o alalay mo sa bawat bagay. Tama na siguro yung ginawa kong paninilbihan sa among ‘di naman ako sinuklian ng kahit ano. Tama na siguro na tigilan ko na itong ambisyon na ipinaiiral ko, ilusyon na maaaring maging tayo.
Naaalala ko, oo naaaalala ko ang mga bagay na pinagsaluhan natin. Naaalala ko noong una kitang nakilala, naaalala ko kung papaanong wala kang takot na sumama sa akin upang tuklasin ang isang lugar na ‘di ka pa pamilyar at ‘di mo pa alam. Naaalala ko ang pagtataya mo at tiwala na totoo ang mga pinagsasabi ko at dadalhin kita sa tamang lugar na ipinangako ko. Naaalala ko kung papaanong naloko ako sa kakatawa sa mga corny **** jokes. Naaalala ko yung panonood natin ng pelikula nang sabay at tititigan mo ako at tititigan din kita nang palihim. Oo naaalala ko pa ‘yun, at oo tinititigan kita kasi nabihag ako ng mga mata **** mapungaw, tila humihingi ng atensyon at pagmamahal. At oo, naaalala ko pa yung araw na tinext mo ako at agaran kang pumunta kung nasaan ako kahit malakas ang buhos ng ulan at dumating kang basang-basa. Naalala ko kung paano ako tuluyang nahulog sa’yo sa ginawa **** sakripisyo na maaari ka namang pumunta sa iba, ngunit pinili mo akong makasama.
Pero kung akala kong masaya at wala nang makakapigil sa ating dalawa, nagising ako mula sa isang realidad. Nagising akong ‘di pala totoo ang mga nakita ko. Nagising ako na wala ka sa piling ko. Nagising ako na ang lahat ng iyon pala ay isang malaking ilusyon. Nagising ako, masakit ang damdamin at namamaga ang mga mata mula sa paghimbing dahil sa kaiiyak. Nagising akong ‘di pala totoo ang panaginip na pinaniwalaan kong totoo. Nagising ako na ‘di mo pala mahal ako. Nagising ako sa tinig ng boses **** nagsasabing “mahal kita, pero kaibigan lang”.
Kaya ganun, wala akong magawa kun’di ang magmukmok sa sulok ng kuwartong dating puno ng saya at tawanan nating dalawa. Nanatili ako sa lugar kung saan tayo nanood at nagtabing dal’wa. Nanatili ako sa lugar kung saan mo ako pinuntahan kahit napakalakas ng ulan. Nanatili ako at nag-isip bakit kaya at bakit ikaw pa. nananatili at mananatili ako rito hangga’t ‘di pa rin malinaw sa akin ang lahat.
Bakit ba ng hilig kong magmahal? Bakit ba mahilig akong tumaya o sumugal? Bakit ba lagi ko na lang napagkakamalian ang galaw ng iba bilang isang mas malalim pa? Bakit ako nabibihag sa mga salita at gawa na ilusyon lamang pala? O baka naman sadya lang akong tanga. Baka sadya talagang kaibigan lang ang ipinakikita mo noong una, pero mali ang pagkakaintindi ko dahil ‘di ko pa nararanasan ang umibig nang mas higit pa.
Pasensya na sa mali kong pagbasa. Pasensya na at nagawa kitang mahalin bilang kaibigan. Pasensya dahil inakala kong mamahalin mo rin ako tulad ng pagmamahal ko sa’yo. Pasensya na sa aking damdaming tila mahilig lang talagang magmahal nang lubusan. Patawad na ‘di nabasa ang nais mo. Patawad na ‘di ko pa rin matanggap na hanggang magkaibigan lang tayo. Patawad marahil dahil ang sinasabi ng puso ko’y hanggang “magKA-ibigan” lang tayo.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Aridea P Oct 2011
Sifat jahat kembali lagi
Hancur hidup ku saat ini
Karena ucapan kali ini
Dan aku pun menangis

Gerah rasanya hidup ini
Aku di sini hanya lirih
Apa yang bisa aku akhiri
Bila semua takkan terakhiri

Akankah ku pergi lagi?
Diam tanpa harus bicara lagi?
Menangis di malam  lagi?
Dan mendengar lagunya kembali?

Aku kangen Arlonsy lagi
Aku ingat Arlonsy lagi
Aku menangisi Arlonsy lagi
Dan aku mimpi Arlonsy lagi

Aku dengar suara dia
Aku dengar melodi dia
Aku dengar detak jantung dia
Dan aku dengar segala tentang dia

Aku menangisi dia lagi
Aku rindu dia lagi
Aku kenang dia lagi
Dan aku ingin dia kembali
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
AUGUST Sep 2018
margaret

Langit ang nagbigay biyaya nang ambon ay dinilig
Ang aking hiling sa panginoon ay biglang nadinig
Pinadala ang anghel na sa mundo ko’y yayanig
Tinawag ng ng kanyang tinig, at Napatulala sa mga Titig

Maari bang malaman ang yong pakay sa akin
Kung ikaw ba ay pasakit at tuluyan na akong wawasakin?
Laging kong tanong kung ano ba ang dapat kong gawin
Kung ang kahulugan mo ay kabiguan patuloy pa ba kitang iibigin?

Nagtatanong kay Bathala, Paano ko ba mapapaliwanag ang  hiwaga
Nitong pagmamahal na kung bakit sa puso kumapit ka ng kusa
Ako’y nagtataka’t di maka paniwala Bakit ito ang yong ginawa
Sa bigay **** biyaya, Ano ba ang kasalanan ko  para isinumpa

Gaano ba kita pinapahalagahan? Alam mo ba ang dahilan?
Hiling ko lang ay sanay iyong maunawaan itong nararamdaman
Kaya ang paliwanag ko ay simple nalang
Masikip dito sa loob ko, kaya ang kasya ay ikaw lang

Alaalang bitbit pano ko makakalimutan
Kung Sa puso koy nakaukit  ang yong pangalan
Ibinalot ng tatag ng loob para ika’y ipaglalaban
Di kita hahayaang lumuha lagi kang aalagaan.

Nagaabang ng sasakyan para dalhin sa langit, iwan ang mundo
Nakikiusap Pagbigyan sana Hiling makamit, Anghel na sundo
Saan nga ba tayo patungo? Byaheng langit sa impyerno,
Sa isipan kong magulo, Kasinungalingan ka ba o Totoo?

Linalaro sa panaginip ang dakilang pagsuyo
Tuluyang Hinamon Ang matapang na puso
Sayo napalapit at ayaw nang lumayo
Ang silakbo ay di na kaya, kayang isuko

kahit ano dito sa lupain ay handa kong ialay
Pagkat ang langit sa akin ay una mo nang binigay
Ang halaga mo sa akin ay Walang katumbas na materyal
Dahil Di kayang sukatin kung gano kita kamahal
Para sa taong minahal ko ng minsan, ito ang tulang di ko naiparating sa kanya.

Ngayon alam ko na kung gaano siya kahalaga, kung kailan wala na.
ESP May 2015
Hindi ako marunong tumula

Hindi ako marunong tumula
Kahit tinuruan ako ng **** ko sa wika
Ng tamang pagsulat
Ng may tamang sukat
Ng may tamang sukat ng salita
Ng may tamang salita

Hindi ako marunong tumula
Dahil iniwasan kong gumawa ng isa
Dahil ayoko ng konbensyunal
Dahil ayoko ng sukat-sukat
Dahil ayoko ng bilang-bilang
Dahil ayokong nahihirapan
Kung paano ko ipapahayag ang sarili ko

Hindi ako marunong tumula
Dahil alam kong ang mga makata lamang
Ang may kakayanang makapagsulat
Silang mga nakapag-aral ng wika
Silang mga matagal nang nagsusulat
Silang walang sawang nagsusulat ng mga salitang
Kasing bango ng mga bulaklak
Kasing tingkad ng langit
Kasing linaw ng mga tubig sa dagat
Kasing sarap ng paglanghap ng sariwang hangin

Hindi ako marunong tumula
Kahit naririnig ko sa radyo
Ang mga kantang binibigkas
Ng mabibilis na mga bibig
Ng mga magagaling na mang-aawit ng tula

Hindi ko inibig ang tumula
Dahil alam ko sa aking sarili
Na marunong lang akong magsulat ng kung anu-anong kwento sa buhay
Mga kwentong binibigyan ko ng buhay
Na akala ko sa isip ko lang maninirahan

Ngunit dumating ang araw
Natulala sa isang bagong kwaderno
Blangkong kwaderno
Ni hindi ko alam
Kung ano ang isusulat
Walang maisip ni isa
Maliban sa isa
Ikaw
Ikaw lang ang laman ng isip ko

Nakapaglakbay patungo sa unang pahina
Ang salitang aking hinahanap
Hanggang sa nagtawag siya ng mga kasama
Ng ka-tropa
Ng ka-barangay
Sunod-sunod silang nagsisidatingan

Ikaw lang ang laman ng isip ko
Ikaw na lagi kong kasa-kasama
Ikaw na lagi kong gustong kasama
Ikaw lang
Pero sunod-sunod ang salitang naisulat ko
At nagulat ang nanlalabong mata ko
Tula na pala ang naisulat ko

At nagsulat ako
Nang nagsulat tungkol sa mga ngiti mo
Tungkol sa kung paano kita nagustuhan
Tungkol sa kung kelan lahat nagsimula lahat ng nararamdaman ko
Tungkol sa kung paano ko nilalabanan 'to
Tungkol sa pagkagusto na akala ko hindi dapat
Dahil magkaiba tayo ng gusto
Nagsulat ako nang nagsulat
Hanggang naisulat ko na pala
Na mahal kita

Hindi ako marunong tumula
Ayaw kong gumawa noon ng tula
Pero dahil sa'yo
Marunong na akong gumawa ng tula

Gumawa ako ng maraming tula
May maikli
May mahaba
May hindi tapos
May walang kwenta lang
Halos lahat ay patungkol sa iyo
Minsan sa buhay ko
Pero sa'yo lang umiikot ang buhay ko
Totoo

Ang sarap palang gumawa ng tula
Akala ko mahirap
Akala ko laging may batayan
Akala ko laging may sukat
Tulad ng itinuro sa akin ng **** ko sa wika
Pero hindi pala
May iba palang paraan
Basta't may emosyon kang nararamdaman
Mahalaga na may emosyon tulad ng
Malungkot kasi hindi kita nakasama
Mahalaga na may emosyon tulad ng
Masaya kahit na tinititigan lang kita nakikita ko na mangiyak-ngiyak ka na sa tawa
Mahalaga na may emosyon tulad ng
Pagkasawi kasi alam kong walang patutunguhan 'tong lahat

Katulad mo ako
Isinusulat mo kung anong nararamdaman mo
Ang nararamdaman **** hindi katulad ng nararamdaman ko
Ikaw na siyang nagmamahal ng taong
Hindi ka gusto
Katulad mo ako na
Nagsusulat ng laman ng puso mo

Kung pwedeng ako na lang na ang tinutukoy mo

Marunong akong gumawa ng tula
Ikaw ang may dahilan ng lahat
Nasabi ko na sa'yo lahat
Hindi pa pala lahat

Marunong akong gumawa ng tula
Pero hirap na hirap ako ngayon
Dahil wala na akong maramdaman
Wala na ang pinanghuhugutan
Wala na yatang dapat paglaanan
Wala na

Habang isinisulat ko ito
Wala akong emosyon
Walang emosyong nararamdaman
Sa'yo
Tapos na ata ako sa'yo
Wala na rin akong masulat para sa'yo
Pero marunong akong magsulat ng tula
Kaya
Maghahanap na lang ulit ako
Ng taong paglalaan ng mga salitang
Hindi makatotohanan sa pangdinig kapag isinambit
Hindi makatototohan habang binabasa ng mga mata
At hindi makatotohanang isinulat ng isang hamak na katulad ko
Maghahanap ako
Ng isang tulad mo

Mahaba-haba na ang aking naisulat
Napatunayan ko na atang marunong akong magsulat


Pero hindi ako marunong tumula.
Nakakapagod ng maghintay,
Ilang linggo na rin ang nakaraan,
Pero lagi kong sinasanay
Ang puso ko sa’yo.
Iniisip na lang ang mga “baka”
Ang  listahan ng bakang...
Na baka may iba ka na
Baka naipagpalit na ako
Baka nagbago ka na
Baka kinalimutan mo na ako,
At higit sa lahat, baka nasanay ka na
nawala ako.
Baka ganito lang talaga ang ating wakas.
Kasi nasanay na ako sa mga ganitong bagay,
Kahit naman tawa at ngiti ang gusto **** iaalay,
Luha ang makikita **** dumadaloy sa aking pisngi,
Na minsa’y natago ko pa sa mga ngiti.
Gusto mo akong maiwan sa tabi mo,
Kung sa puso mo’y ako’y naging isang multo.
Gusto mo akong maiwan sa tabi mo,
Pero palayo lang tayo ng palayo,
Gusto mo akong maiwan sa tabi mo,
Pero nasaan na ikaw? Nasaan na ako?
Nasaan na nga ba ang oras ng “tayo”?
Gusto mo akong maiwan sa tabi mo,
Pero wala kang ginagawa para tumabi pa ako sa’yo.
Nasaan ba ang hustisya ng aking salitang may halaga?
Na sa oras kung magbigay ka sa akin ay wala?
A ‘yan na, sa sikat ng araw ng Abril,
Nagtatapos na ang buwan, nasaan ka ba?
Eto na naman ang ating mga mata,
Hindi na naman tayo magkikita.
Pinagkakaabalahan natin at hinihintay,
O baka ako lang. Ako lang.
Nawawala na ang mga dating salita na,
“Mahal na mahal kita,
At miss na miss na kita.”
Kasi oo, nasanay ka na,
At iniisip mo na,
Nasanay na rin ako.
Kung minsanang sabihin mo ito,
Nagdududa na rin ako kasi nasanay ka na.
Tunay nga ba na mahal mo ako?
Tayo nga ba? O baka pangalan lang ito.
"Us with benefits"? Bagong parirala ba ito?
Tunay nga ba na ako ang iyong hinahanap?
Na minsa’y wala ka sa aking tabi,
Umiiyak na ako, nagwawala na,
Mas pinili mo pang iligtas ang iba.
Sinasabi mo sa akin na,
“Alagaan mo ang sarili mo lagi ah.”
Pero ano nga ba talaga ang sinasabi mo?
Ikaw pa lang ang nagsabi sa akin na
Mabuhay na wala ka. Masakit, hindi ba?
Pero, hindi na ako  magdedepende lagi sa'yo.
Natutunan ko na ang aking pagkakamali.
Nasaan ka ba noong kailangan kita?
Nasaan ang oras nating dalawa?
Hinahanap kita, mahal kong multo.
Patay na nga ba? Saan ang libingan?
O baka hinahanap-hanap kung saan-saan,
Kasi alam ko buhay pa ito. Naniniwala ako.
Minsa’y umiyak sa mga gabi,
Hanggang sa hindi na. Hindi na.
Hindi ko nang ginusto na makita,
Ang mga litrato mo sa akin..
Kasi namimiss lang talaga kita.
‘di ko mabitawan ang aking nadarama,
Kasi malulunod ako sa isipan at luha,
Kahit ano pa mangyari, hindi kita bibitawan.
Hindi bibitawan ng basta-basta.
Heto na naman, minumulto ako.
Nasaan ka? Naririnig ko ang aking puso.
Kung wala ka lagi sa aking tabi.
Multo lamang ang kasama ko,
Ang multo mo sa aking puso.
(informal Tagalog poem)
JK Cabresos Nov 2011
Hahay...
anaa lagi koy dakong balay
apan wala gayud tawoy
bisan jutay'ng kalipay,
walay oras nga dili
maglantugi
hiniktan ang kalinaw
ug dili gayud makaipsot
sa adto nga pisi

dako lagi ug balay
apan wala gayud gugma
dako nga balay
apan ang kagubot
dili gayud
mahilona,
daghan lagi nga k'warta
nga natagamtaman
ning mga kamot
apan pubri ra gihapon
magasige lang sa mug-ot
daghan lagi ug suga
nga makit-an
apan kung tarungon
ug lantaw
ngit-ngit pa sa alkitran

maypag wala nalay
dakong balay
kung ing-ani man galing
maypag wala nalang
kung mao ra kini ang
makasamad sa akong
kasing-kasing.
© 2011
Glen Castillo Jul 2018
Sabi nila,kapag nahanap mo na daw ang tunay na pag-ibig ay nahanap mo na rin ang iyong langit dito sa lupa. Kaya't naniniwala akong langit din ang maghahatid sa'yo patungo sa akin. Pero naiinip na akong maghintay at nanghihinayang sa bawat sandaling lumilipas , na hindi ko man lang magawang hawakan ang iyong mga kamay sa mga panahong kailangan mo ng karamay.Na hindi ko man lang magawang damayan ka kung dumadanas ka ng lumbay.Alam kong katulad ko,pakiramdam mo minsan ay binitawan ka na din ng mundo.Kaya't patawarin mo ako kung sa mga pagkakataong nararanasan mo yan ay wala ako d'yan para ikaw ay aking ma-salo. Kung totoong ang pag-ibig at ang langit ay may malalim na kaugnayan sa isa’t-isa,malakas ang kutob ko na tayo din ay iginuhit na katulad nila. Minsan na din akong nagtanong,saang sulok ng langit ka kaya naroroon? Malapit ka kaya sa araw? O marahil nasa tabi ka lang ng buwan,na sa tuwing sasapit ang dilim ako ay binabantayan.Kaya pala kahit saan ako magpunta ako'y lagi niyang sinusundan. Pero maaari din na ika'y kapiling ng mga bituin na kay daming nais mag angkin. Kay palad kong pagdating ng araw ikaw ay napa sa-akin. Kaya habang wala ka pa,ako muna ay magiging kaisa ng mga mabubuting kawal ng ating bayan. Makikidigma kung kinakailangan,ipaglalaban kung ano ang makat'wiran. Upang sa iyong pagdating ay malaya nating tatamasahin ang payapang buhay. Kaya habang wala ka pa ako'y taos puso kung manalangin sa ating may likha. Na paghariin niya nawa ang kabutihan sa aking puso bilang isang tao at higit sa lahat ay bilang kanyang anak , upang sa sandaling tayo'y pagtagpuin ako rin sa iyo ay magiging isang mabuting kabiyak. Hindi pa man tayo nagtatagpo,nais kung malaman mo na laman kang palagi ng aking panalangin. At habambuhay kong itatangi ang iyong pag-ibig na siyang dahilan kung bakit maka ilang ulit kong nanaising mabuhay. Nais kong ipagsigawan sa mundo na iniibig kitang wagas,ngunit mas mamatamisin kong hintayin ka at kapag naglapat na ang ating mga dibdib,ibubulong ko sa'yo na ikaw ang aking daigdig. Maghihintay lang ako,habang wala ka pa.




© 2018 Glen Castillo
All Rights Reserved.
Pag-ibig sa tatlong salita (IKAW,BAYAN at DIYOS)
Erikyle Aguilar Oct 2018
Si tatay,
siya yung tipong gagawin ang lahat,
kahit buong buhay niya ibibigay,
pupunta kahit saan, kahit kailan,
masuportahan lang ang buong pamilya.

Siya rin yung kahit na may mali ka,
pilit pa ring iintindihin ka,
grabe ‘yan kung magalit,
pero pagdating sayo, may pusong mamon.

Ang haligi ng tahanan, ang tagapagbantay,
hahanapin ka pag napapahiwalay,
walang sinumang pababayaan,
hangga’t kaya, ipaglalaban,

Kahit sobrang daming problema,
kinikimkim nalang, hndi pinapaalam,
kasi ayaw niya kayong mapahamak pa.

Kaya ‘tay, kahit marami kang ginagawa,
pinararamdam mo pa ring andiyan ka,
pero ‘tay, kamusta ka na?


Si nanay,
siya ang ilaw ng tahanan, totoo nga naman,
iingatan ka, pakakainin ka, ipagluluto ka,
minamahal ka,
hindi ka niya iiwanan, kahit gusto **** makapg-isa.

Siya yung sa simula palang,
naghihirap na, nasasaktan na, nagtitiis na,
lahat ng ginagawa niya mula sa simula ay para sa’yo,
siya yung kahit madaling araw na, gigising pa rin,
makita ka lang na natutulog nang mahimbing, sapat na,
at kahit walang tulog, pagsisilbihan ka pa rin.

Kahit galit, mahal ka niyan,
“makuha ka sa tingin”, lagi niyang sinasabi,
magbibilang pa siya, kasi mahaba ang pasensya niya sa’yo,
“isa, dalawa, dalawa’t kalahati, magtatatlo na”.

Kahit madalas siyang galit, mas umaapaw pa rin ang pagmamahal niya,
hahanapin ka hanggang makauwi ka, hindi pa ‘yan makakatulog nang wala ka,
makakailang tawag pa sa’yo,
kahit puro “asan ka na?” ang naririnig mo,
mamimiss mo, at hahanap-hanapin mo pag hindi tumawag.

Kahit may pasok, kahit may sakit, kahit pagos,
hindi siya magiging tamad, nagpapahinga lang,
kaya mahal ko ang nanay ko,
kasi siya ‘yong laging nasasandalan ko.

Walang kontrata ang pagmamahal ng mga magulang,
dahil kahit matanda na tayo, tatay pa rin si tatay, at nanay pa rin si nanay.


Si kuya,
siya yung kapatid na hindi mo maintindihan kung paano magmahal,
siya yung kapatid na grabe mangasar, mangulit, at magpahiya,
ganyan naman talaga 'yang si kuya,
ganyan niya pinapakita ang pagmamahal niya sa'yo.

Hindi man siya magsabi ng "I love you",
ipakikita naman niya ito sa pamamagitan ng
pagmamalasakit niya sa kaniyang mga kapatid,
ipapaubaya ang kahit ano,
kahit na mas kailangan niya pa.

Hanga ako kay kuya,
dahil hindi madali maging isang panganay,
lahat ng galit o sermon, sakaniya napupunta,
kahit madalas ang kapatid niya ang may kasalanan.

Walang papantay kay kuya,
kaya kuya.
andito lang ako kung hindi mo na kaya.


Si ate,
bibigyan ka ng atensyon kahit may ginagawa siyang iba,
madalas na nagbibigay ng payo,
mapagsasabihan mo ng mga lihim,
parang isang talaarawan.

Siya ang kanang kamay ni nanay,
kasama sa pamimili sa palengke, kasama sa kusina,
kasama sa pagluluto at pagkakain, kasama sa pagpupuyat.

Aasarin ka niyan, pero mahal ka niyan,
sasabihan ka niyang, "Uy, binata ka na".
o kaya, "Uy, dalaga ka na",
Maiiyak ka sa tuwa sa pang-aasar niya.

Siya ang unang yayakap sa'yo sa kalungkutan mo,
malambing, parang anghel ang boses, mainit ang yakap,
lahat ng init na kailangan mo sa malamig na gabi
ay mabibigay niya.

Parang mga bituin sa langit,
kaya si ate, mahal ko 'yan,
mahal na mahal ko 'yan.


Bunso,
siya yung pinakamakulit sa lahat,
kahit anumang suway mo,
sige, tuloy pa rin sa pagkakalat.

Siya yung nagpapasaya sa bahay,
ang kaniyang paglalaro
o presensya palang ay sapat na.

Siya yung nagmamakaawa,
makamit lang ang gusto niya.

Kahit na pagod na kayo,
tuloy pa rin ang pangungulit,
tuloy pa rin ang kaniyang pagpapatawa,
hanggang sa sumakit ang panga mo sa katatawa.

Ading,
salamat dahil andiyan ka,
salamat sa pangangamusta,
mahal ka naming lahat.
a collab work of Chester Cueto, Jose De Leon, Danver Marquez, Erikyle Aguilar, and Ericka Kalong
Paulo May 2018
Naalala mo pa ba ung mga araw na una tayong nagkita?
Mga oras na ako ay galak at tuwang tuwa,
Pagkat ika'y nakilala't natagpuan sa oras na aking inaasahan
Mga panahong tayo pa ay nagkakahiyaan

Andyan yung unang punas sa mukha **** pawisan
Unang usap, unang ngiti at biglang nagkatitigan
Unang pagbabago ng aking nararamdaman
Unang paghatid at sambit ng "ingat ka dyan"

Lumipas ang mga araw ugali mo'y aking nakita
Lakwatsa doon, inom dito yaan ang aking nahinuha
Ngunit ikaw ay aking naintindihan,
Ang aking nasa isip ay malamang dulot ng  nakaraang hindi malimutan

Kaya naman gumawa ako ng paraan upang ika'y mapasaya
Sa kalagitnaan ng gabi ako'y nag atubiling ika'y puntahan
Kabog ng dibdib, lakas ng hangin at ulan ay di inalintana
Makita ko lang ung mga ngiti **** mahiwaga

Salamat sa mga oras na dumaan at ika'y nakilala
Batid kong madaming nagmamahal sayo,
Kaya naman aking pagtingin ay lumayo
At aking naintindihan na mas mabuti maging magkaibigan na lang tayo

Gusto ko lang lagi **** tatandaan,
Na wala man ako sa tabi mo lagi naman akong nasa likod mo,
Handang tumulong sa abot ng aking makakaya
Lalo na sa pamilya, kaibigan, eskwelehan ay may problema

Sana ngayon nasa mabuti kang lagay, Inday
Sana'y mga pangarap mo'y iyong makamtan
Sana'y wag ka na ulit lumuha sa daan
Sana'y pintuan ng iyong puso ay muling mabuksan
Sana'y mahanap na nya ang tamang Adan

Sana'y mahalin mo pang lalo ang 'yong mga magulang
Sana'y maging maayos na kayo at wala ng magkulang
Sana sa iyong pagbabalik ay masaya ka sa bagong aral na iyong napulot
Sana wag kang magbabago't wag makakalimot

Di nako aasang liliit ulit ang espasyo
Magbubukas ulit ang entablado
At makaka tapak sa inyong teritoryo
Kaya't ang aking tanging magagawa ko na lang ay isama ka sa mga dasal ko.
Maemae Tominio Sep 2016
SYA
Sa dami ng tao  na nabubuhay sa mundo,
Hindi lang isa o dalawa ang nakakaranas nito,
Mga tanong na animo'y basag na salamin na di na mabuo,
Walang ibang kayang sumagot kundi mismong puso mo.

Sinu ba naka imbento ng pagmamahal?
Bakit pag nasaktan, paglimot ay kaytagal,
Mga nakaraa'y gusto **** balikan,
Ngunit tadhana sayo'y gusto ng kalimutan.

Biktima ka na ba ng maling pagmamahal?
Yung tipong mahal mo sya, mahal ka nya ngunit bawal,
Mainit sa mata ng iba at hindi kaaya aya,
Ngunit para sa inyong dalawa'y pag sasama nyo'y anong kasing saya.

Agwat ba ng edad ay hindi alintana?
Sa paningin ba ng iba'y hindi maganda?
Mamahalin mo pa ba ang isang tulad nya?
Kahit ba ang edad mo'y doble sakanya?

Paanu ba masusukat ang pagmamahal sayo?
Sa tagal ba ng kanyang paghalik o pagsusundo sayo?
Sa rami ng okasyong nabibigay nyang regalo,
Dun mo ba makikita kung mahal kang totoo?

Paanu kung isang araw puso mo'y tumibok,
Sa taong di pa nakikita o nahahawakan kahit hibla ng buhok,
Mamahalin mo pa ba sya kahit sobrang lungkot,
Hindi nya magawang yakapin kapag ika'y nagmumukmok.

Mahirap talaga kapag ang mahal mo'y nasa malayo,
Lalo na kung umaasa kalang sa wifi ng kapitbahay nyo,
Na kapag mahina ang net , babagal din sayo,
Ngunit tinitiis ang lahat para sa mahal mo.

Paanu kung nalaman mo ang nakaraan nya?
Pagmamahal mo ba'y magbabago at mawawala,
Mga supling na nag aalaga sakanya,
Nagpasaya't nag aruga noong wala ka pa.

Iisipin mo pa ba ang nakaraan,?
Kung sa puso mo'y masaya ka sa kasalukuyan,
Mahirap man tanggapin sa unang nalaman,
Ngunit tinanggap mo parin sya sa kabila ng kanyang pinagdaanan.

Hindi pa ba napapagod ang iyong puso?
Sa nalaman mo'y bat hindi ka sumuko?
Ganito ba talaga kapag mahal **** totoo?
Tatanggapin lahat kahit komplikado.

Sa muli **** pagtanggap, may biglang nagparamdam,
Babaeng nakasama nya at gusto syang balikan,
Ikaw ba'y magpaparaya na at sya'y iwanan,
Na kahit labag sa loob mo'y iyong bibitawan.

Ngunit sa pag bitaw mo'y syang pag kapit sayo,
Mga paliwanag nya na nagpapatatag sa puso mo,
Pipiliin mo ba ang kasiyahan ng iba o kasiyahan nyo?
At tanggapin sya ulit at bumuo ng panibago.

Tadhana na ba talaga ang gumagawa para ika'y ilayo,
Nakaraan nya'y nagbalik na at may isa pang panibago,
Biyaya sa sinapupunan nya'y dugo't laman mo,
wala na bang magandang mangyayari sa relasyong to?

Mapapabuntong hininga ka nalang sa mga pangyayari,
Kailangan na ba tong itigil at hindi na maaari,
Kayrami ng rason para sa sarili mo naman ika'y makabawi,
Sa lahat ng luhang pumatak at pighati.

Panu kung ang mahal mo'y taglay lahat yan?
Dobleng edad, may mga anak, at meron pa sa tyan?
Tanga ka kapag hindi mo pa binitawan,
Nagmahal ka ng totoo kapag sya'y iyong pinag laban.

Ngunit hindi na susukat sa pananatili mo kung gaano sya kamahal,
Minsan gagawin **** bumitaw para sa katahimikan ,
Katahimikan ng puso nyo at ng nasasakupan,
Kailangan sumugal kahit na nasasaktan.

Alam **** darating ang panahon na maghihiwalay tayo,
Pero sana bumalik ka kapag puso mo'y tinitibok pariny ay ako,
Masakit man isipin na mag hihiwalay tayo,
Pero sana isipin mo na minahal kita ng totoo.

Yang katagang yan ang gusto kong sabihin sayo,
Ngunit takot ang dila ko na ipahayag ang mga ito,
Takot ako na masaktan ka sa paglayo ko
At takot ako na baka di matanggap ng puso ko.

Alam kong marami pang pag subok ang darating,
Alam kong panghihinaan ako ng loob kapag itoy dumating,
Sana gabayan mo ako sa anumang pag dedesisyon
Huwag kang titigil para bigyan ako ng leksyon.

Umiyak man tayo ng ilang beses,
nasaktan man tayo nag paulit ulit,
Marinig ko lang malalambing **** boses,
Sakit ng nadaramay ,saya ang pumalit.

Lagi **** tatandaan na mahal kita,
Mahal kita at tanggap ko kung anu ka,
Hindi importante kung ano ang nakaraang iyong nagawa,
Ang mahalaga ay ngayong masaya tayo sa isat isa.

Hindi ko man maramdaman ang init ng yakap mo,
Hindi ko man maramdaman ang dampi ng mga labi mo,
Maramdaman ko lang na nandyan ka lagi sa tabi ko,
Hindi ako mag sasawang unawain ka at magpaka totoo.

Balang araw magsasama tayo at sana ikaw na,
Kung hindi man ikaw, ang mahalaga tayoy naging masaya,
Hindi man matagal ngunit magsisilbi itong alaala,
Na dadalhin natin sa ating pagtanda.

#love
#sacrifice
Hindi na ikaw ang gusto ko
Yan ang lagi kong paalala sa sarili ko
Sa twing nakatingin ako sa sayo.
Ayaw ko na ng mga mata mo.
Ayaw ko na ng mga ngiti mo.
Ayaw ko na ng lahat sayo.
Pinili kong maging pusong bato
At hindi pansisinin ang nararamdaman ko.
Parang normal lang
Gaya nung wala pang ikaw.
Kaya ko nung wala pang ikaw
Nagkandaletche letche lang nman ako nung may ikaw
Kasi nung may ikaw
Para akong baliw na laging nakangiti
Nakatingin sa langit
Iniisip ka palagi
At
Ayaw ko na non.
Kaya araw araw akong magiging bato
Sasanayin ang sarili magmukha lang na malakas ako.  
Kahit nakatingin ako sayo ngayon.
Ngayon.
Ngayon parang kinakain ko ang lahat ng pinagsasabi ko
Bakit ikaw parin ang gusto ko
Sa pagising sa umaga
excited pa akong pumasok
kasi ikaw ang makikita ko
kuntento sa sandali
HINDI
kuntento sa isang oras na pasulyap sulyap sayo
“pasulyap sulyap”
Ibig sabihin Segundo
Pero sa bawat segundo ng isang oras na gunugugol ko
Ang gusto ay ang tumitig lang sayo  
Sa mga mata mo, sa ngiti mo
Kahit sa lahat ng kaabnormalan ng katawan at isip mo
Tanggap ko.
Kasi ikaw parin ang gusto ko
Ikaw ang gusto ko
Sabi pa nila tumingin na raw ako sa iba
Kaya sinunod ko sila
Pero sa twing ikaw ay makikita
Parang madilim na kwarto
na ikaw lang
Ang tanging ilaw na bukas
Sa sandaling yun
Walang ibang gamit
Kundi isang ilaw na naiiba sa lahat.
susubok akong magsalita pero lalayo kana
tinatawag ka ng kaibigan mo
kasi ang isang oras ay tapos na.
“SANDALI” sabi ng prof.
muling napinta ang ngiti sa labi
dahil sa huling sandali
sumulyap muli sayo.
   Patapos na ang sandali
At tinawag kana muli
ng mga kaibigan mo.
habang hinihiling ko,
Na sana ay muling magsalita ang prof ng kung ano,
Pero sa oras na yon unang lumabas
ng silid ang propesor.
dahil tapos na ang sandali
Tapos na.
Ang isang oras.
Marge Redelicia Jun 2015
ang pangalan niya ay jesus.
oo, ang pangalan mismo ng kaibigan ko ay jesus.
seryoso ako.

si jesus
ay siyang dalaga,
morena, kulot ang buhok.
ang lalim ng mga dimples at
may mga pisngi na kay sarap kurotin.

parang musika ang himig ng kanyang tawa
at hindi kumpleto ang kanyang mga bati
kung walang kasamang yakap na kay higpit.
hindi ko gets kung bakit
hindi siya kumakain ng tinapay ng walang asukal.
at nakakatawa lang kung paano
lagi siyang may baon na sachet ng bear brand
na pinapapak niya kapag siya ay naiinip.

si jesus
ay isang iskolar,
magna *** laude standing,
bise presidente ng kanilang organisasyon.
balak mag law school pero may tumanggap na
nakumpanya sa kanya sa bgc.
meron din siyang mayamang boyfriend na
hinhatid siya pauwi sa taytay, rizal gabi-gabi.

huwebes ng nakaraang linggo,
bandang alas dyis:
si jesus
ay natagpuan sa labas ng kanilang bahay
walang malay
nakahandusay sa kalye.
sinugod sa ospital para kalagayan ay masuri.
ano kaya ang nangyari kay kawawang jesus?
heat stroke, stress, fatigue, high blood, food poisoning?
kulang lang ba sa tulog o pagkain?
walang natagpuang hindi pangkaraniwan kay jesus.
normal lang daw ang kanyang kalagayan
maliban lang sa paghinga niya na
tila humihikbi pero walang luha.
ilang oras din ang nagdaan bago si jesus
ay tuluyang nagising.
ang sabi ng doktor tungkol sa kanya:
depresyon, malubhang pagkalungkot
ang tunay at nag-iisang sanhi.

dahil kay jesus,
napagtanto ko na
hindi porket nakangiti,
masaya.
hindi porket bakas ang ligaya sa kanyang labi,
wala nang lungkot at lumbay na namamayani sa kanyang mga mata.
hindi porket ang lakas humalakhak kapag nandyan ka,
hindi na siya humihikbi, humahagulgol kapag wala siyang kasama.
hindi porket parang musika ang kanyang tawa,
hindi na siya umiiiyak nang umiiyak nang paulit-ulit-ulit na parang sirang plaka.
kasi
hindi porket masigla,
hindi na napapagod.
hindi porket matapang at palaban,
hindi na nasasaktan.
hindi porket laging nagbibigay, nag-aalay,
wala nang mga sariling pangangailangan.
hindi porket matalino,
ay may alam.

dahil kay Jesus,
ako'y namulat
na ang dami palang mga walang hiyang tao sa paligid ko
na nagsusuot ng mga maskarang pantago
sa kanilang mga kahinaan, takot, at sakit.
sa kabila pala ng kanilang mga yaman, tagumpay, talino, at
kung ano-ano pa mang sukatan ng galing
kung saan kinukumpara natin ng ating sarili
may isa palang
nabubulok, naagnas
na kaluluwa.

dahil kay jesus,
ako'y nalulungkot.
mata ko ay naluluha,
puso ko ay kumikirot
na may mga tao palang katulad niyang
naglalakbay nang di alam kung saan pupunta.
nangangarap na huwag na lang magising sa umaga.
nakuntento na lang sa wala.

dahil kay jesus,
ako'y naiilang
na ang nagaganap sa aking harapan
sa loob ng paaralan, bahay, o opisina
ay hindi tama.
maling-mali na
ang mga tao sa aking paligid ay nakakulong
sa selda ng anino at lamig.
hindi ito ang kanilang nararapat na tadhana.
hindi ka ba naiinis?

dahil kay jesus,
may apoy na nagpapaalab sa aking galit
nagtutulak sa akin na tumakbo
hangga't hindi natatama ang mali.

at lahat 'yan ay
sapagkat alam ko sa aking isip at puso na
dahil kay Hesus
lahat ng kahinaan at takot ay hindi na kailangan ikubli.
ilalapag na lang sa harap Niya
ang anumang alinlangan o mabigat na karamdaman.
wala nang pagpapanggap.
buong tapang na ipagmamalaki na
ito ay ako.
kasi ano man ang mangyari at kung sino man ako maging
ang tunay na dilag, dangal, at tagumpay
ay tanging
sa Kanya nakasalalay.

dahil kay Hesus
may ligaya at kapayapaan na hindi kaya matalos ng isip.
banayad ang layag
anumang dumaan na bagyo.
matatag nakakatindig
kahit yumanig pa ang lupa at magunaw man ang buong mundo.
dito sa dagat na kay lawak at lalim
hindi lalangoy,
kundi maglalakad, tatakbo,
lilipad pa nga sa ibabaw ng mga alon.

kay Hesus
may liwanag na pinapanatiling dilat
ang aking mga mata.
ano mang karumaldumal na karahasan ang masilayan,
hindi ako napapagod o nawawalan ng pag-asa.
hindi makukuntento at matatahimik.
hindi tatablan ng antok.
araw-gabi,
ako ay gising.

dalangin ko na sana puso mo rin ay hindi magmamanhid
na kailanman hindi mo masisikmura at matatanggap
ang kanilang sakit.
tulad ng dalagang si jesus
gusto nila ng pampahid para maibsan ang hapdi.
pero ang mayroon tayo
ay ang lunas, ang gamot,
ang sagot mismo.
tagos sa balat, sa puso diretso.
ang gamot ay ang dugo
na dumaloy sa mga palad Niya.
ang pangalan Niya ay Hesus.
*Hesu Kristo.
a spoken word.
JOJO C PINCA Nov 2017
“Set wide the window. Let me drink the day.”
― Edith Wharton, Artemis to Actaeon and Other Verses

Matapang, sino ang tunay na matapang?
Yung siga ba sa kanto?
O yung pulis na marami nang na-tokhang?
Hindi kaya ang senador ng oposisyon
Na laging bumabanat sa administrasyon?
O baka naman yung mamang komentarista
Sa radyo at telebisyon?

Saludo ako sa mga sundalo’t pulis na
Nakipaglaban doon sa Marawi. Walang
Sindak ang mga bombero na sumusugod
Sa nagngangalit na dila ng apoy.
Hindi matatawaran ang kagitingin ng
Mga nagpapakasakit para sa kalayaan
At kapakanan ng inang bansa.

Pero may ibang anyo ang katapangan
Na mas malalim at kahanga-hanga.
Ang katatagan ng puso at isipan sa gitna
Ng dusa at malagim na paghihirap.
Ang hindi pagsuko ng kaluluwang hindi
Kayang ibilanggo ng takot at banta ng paghihirap.

Si William Ernest Henley ang bayani ng
Katapangan na tinutukoy ko s’ya ay di nalupig
Kailanman. Hindi s’ya sumuko sa siphayo ng kapalaran
Hanggang sa huling sandali.

Pagnilayan natin ang kanyang Invictus:

“Mula sa gabing bumabalot sa akin,”

May mga kawawang nilalang na walang umaga
Ang kanilang buhay puro gabing madilim
ang laging umiiral. Walang liwanag, walang bukang-liwayway.
Mula pagkabata hanggang pagtanda puro hinagpis at pait
Ang kanilang laging sinasapit.

“Kasingdilim ng hukay na malalim,”

Maraming bangin sa buhay ng mga kapos palad
Na nakabaon sa dusa at hilahil. Hindi nila ito ginusto
Hindi kailanman pinangarap kaya’t hindi nila ito
Kailanman matatanggap.

“Sa mga diyos, ako’y nagpapasalamat”

Ang mga kawawang mahihirap at mga mangmang
Sa kaalaman na laging salat sa mabuting paliwanag
Ay laging nagpapasalamat sa diyos. Salamat sa diyos……
Hahaha….. walang diyos mga hangal. Kung may diyos
Wala sanang kahirapan at kaapihan na umiiral.

“Sa kaluluwa kong hindi natitinag.”

Katawang lupa lang ang sumusuko
Ang kaluluwa at pusong matatag
Kailanman ay hindi ito magagapi.

“Nahuli man ng pangil ng kapalaran,”

Ang pangil ng malupit na kapalaran
Ay laging nakabaon sa leeg ng mga hampas-lupa
At mga walang makain sa araw-araw.
Pero hindi nito kayang sakmalin ang mayayaman at
Ang mga burgis. Bahag ang kanyang buntot
Sa harap ng mga panginoon.

“Kailanma’y di nangiwi o sumigaw.”

Kahit sumigaw ka at ngumawa nang husto
Walang tutulong sa’yo, walang makikinig
Dahil bingi ang mundo at bulag ang mata
Ng panginoong mapagpala.

“Sa mga pagkakataong ako’y binugbog,”

Paos ang tinig ng mga inang mapapait kung humikbi
Mga pinanawan ng pag-asa at ulirat dahil sa pag-iyak
Walang saysay ang sumigaw – nakaka-uhaw ang
Pag-iyak magmumukha ka lang uwak.

“Ulo ko’y duguan, ngunit ‘di yumukod.”

Bakit ka naman yuyukod sa putang-inang kapalaran
Na walang alam gawin kundi ang mang-dusta at mang-api.
‘Wag mo’ng sambahin ang isang bathalang walang-silbi,
Lumaban ka at ‘hwag magpadaig.

“Sa gitna ng poot at hinagpis”

Galit at lungkot ito ang kapiling lagi
Ng mga sawimpalad. Malayo sa masarap
Na kalagayan ng mga pinagpalang sagana
Sa karangyaan at kapangyarihan.

“At sa nangingilabot na lagim,”

Nagmistulang horror house ang buhay ng marami
Walang araw na hindi sakbibi ng lagim, walang oras
Na hindi gumagapang ang takot. Takot sa gutom, sakit,
At pagdarahop.

“Mga banta ng panahong darating,”

Bakit ang mga walang pera ang paboritong
Dalawin ng katakot-takot na kamalasan sa buhay?
Ganyan ba ang itinadhana ng diyos na mapagmahal
At maunawain? Nakakatawa diba?
Pero ito ang katotohanan ng buhay.

“Walang takot ang makikita sa ‘kin.”

Tama si Henley bakit mo kakatakutan ang lagim
Na hindi mo naman matatakasan? Mas mabuti
Kung harapin mo ito ng buong tapang at kalma.

“Kipot ng buhay, hindi na mahalaga,”

Para sa isang lugmok sa pagdurusa wala nang halaga
Ang anomang pag-uusig at kahatulan na nag-aantay.
Impeyerno? Putang ina sino’ng tinakot n’yo mga ulol.

“O ang dami ng naitalang parusa.”

Parusa, ang buong buhay ko ay isang parusa.
Ano pa ang aking kakatakutan na parusa?
Hindi naging maligaya ang buhay ko ano pa
Ang mas malalang parusa na gusto mo’ng ibigay?

“Panginoon ako ng aking tadhana,”

Oo ako lang ang diyos na gaganap sa aking
Malungkot na buhay. Walang bathala akong
Tatawagin at kikilalanin ‘pagkat wala silang pakialam sa’kin.

“Ang kapitan ng aking kaluluwa.”

Walang iba na magpapasya sa aking tadhana
Ako lang hanggang sa wakas ng aking hininga
Ang dapat na umiral.

Si Henley ang tunay na matapang dahil kahit
Pinutol na ang kanyang mga paa, sa gitna ng sakit
At matinding dusa hindi s’ya sumuko. Ang kanyang
Kaluluwa ay nanatiling nakatayo.
w Nov 2016
21
Duwag ka pero salamat
Salamat dahil hindi mo ako hinayaang mahulog sa isang panandaliang saya
Hindi mo ko hinayaang mahulog sa isang panaginip lang
Sa mga matatamis na salita na hanggang salita lamang
Sa mga makahulugang tingin na hanggang tingin lang
Sa mga masasayang kwentuhan na hanggang ala-ala na lang
Mga salita, tingin at kwentuhan na hindi kayang ipadama ng mga yakap at haplos
Dahil duwag ka
Dahil andyan ka at andito ako
Pinagdugtong lang ng isang pisong tumatawid sa libo-libong distansyang mahirap sundan
Dahil hindi natin kayang tawirin dahil duwag ka...at duwag ako
Oo, duwag din ako
Duwag ako katulad mo
Nakakahilo ang pagitan nating di natin kayang bitawan ng pangakong baka balang-araw ay magdikit din ang daliri at mabatid kung may kuryente bang dadantay sa umaasam na puso...dahil duwag ka at duwag ako
Duwag tayong dalawang pumaroon sa espayong walang kasiguraduhan
Pero napakatapang nating hinarap ang katotohanang nakakabit sa dalawa nating mga paa
Na andyan ka at nandito ako
Malayong-malayo
Itong paang nagpipigil sa ating lumutang sa ligayang hatid ng mapangahas na damdamin;
Hatid ng masarap na pantasyang hawak ko ang mga pisngi mo o na malaya kong natititigan ang mga mata mo
Lagi tayong nakamulat at hindi kayang pumikit ng matagalan
Dahil duwag ka at duwag ako
At ito ay isang pekeng pangarap
Wretched Aug 2015
Ito ako,
Duwag akong tao.
Madali akong matakot sa mga bagay na hindi nakikita pero nararamdaman mo
Tulad ng mga multo.
Mga kaluluwa ng mga sumakabilang buhay
Na nagpapagala gala sa aking isipan.
O kahit ang biglaang pagpatay ng mga ilaw.
Pakiramdam ko ang mundo ay hindi ko na kontrolado.
Na sa onting patikim lang ng dilim,
Katinuan ko ay guguho.
Tapos ayun na.
Dahan dahan ng bubuhos ang iyak galing saking mga mata.
Aaminin kong para akong tanga,
Kasi nga naman,
Simpleng mga bagay pero grabe kung gaano ko kayang aksayahin ang mga luha ko sa kanila.
Parang bata. Duwag. Mahina.
Marami pa akong mga kinakatakutan
Pero lahat ay napawi ng sa buhay ko'y dumating ka.
Binuhay mo ko, oo ikaw.
Ikaw ang nagsilbing unang hinga sa pag ahon ko sa malalim na dagat.
Ikaw ang matagal ko ng hinihiling sa bawat bituin
Ang panalanging ngayon ay akin ng katapat
Na akala **** ating pagtatagpo, tadhana ang nagsulat
Nagliwanag ang gabi nang makilala kita.
Ikaw ang naging rason ng aking pag-gising sa umaga.
Nagmistulan kang isang sundalo.
Nakabantay sa aking mahimbing na pagtulog.
Ipinagtatanggol ako sa mundong puno ng kamalasan at disgrasya.
Ang tapang **** tao.
Ikaw, hindi ako.
Kinayang **** harapin ang mga bagay na kinaduduwagan ko.
Natakot akong magmahal muli pero isipan koy iyong nabago.
Kaso sa sobrang kasiyahan na idinulot ng pagdating mo,
Bumalik ang mga takot ko.
Naduwag ako.
Marami akong mga kinakatakutan
At ika'y napasama na dito.
Natakot ako na baka pag gising mo isang araw
Magbago ang isip mo at
Malimutan **** mahal mo ko.
Kayanin **** talikuran ako.
Dumating ang isang masalimuot na gabi
Bangungot ang kinlabasan ng buong pangayayari
Nagdilim ang aking paligid.
Umalis ka na lang ng walang pasabi
At tumalikod ka nga.
Ikaw ang unang bumitaw.
Ikaw, hindi ako.
Ni walang pagpapaalam na nangyari
Ni hindi mo na ko sinubukang sulyapin muli.
Sabi na nga ba. Ang tanga ko talaga.
Natagpuan ko na naman ang aking sariling Nagaaksaya
Ng balde baldeng luha.
Parang bata. Takot duwag mahina.
Inakala mo siguro lagi na lang akong magiging
Isang prinsesa na kinakailangan lagi ng iyong pagsasagip
Pero mahal, Kailangan **** maintindihan.
Ngayon ko lang aaminin sa sarili ko na
unang beses kong naging matapang
Ng  aking Isinugal sayo itong marupok na puso.
Gumuho ang aking mundo.
Pinatay mo ko.
Ilang araw kong pinaglamayan ang ang aking sarili
Umaasang babalik ka at muli akong lulunurin sa init ng iyong mga bisig
Pinatay mo ko pero sa utak ko bakit parang napatay din kita?
Nagsitaasan ang aking mga balahibo
Kasi nga natatakot ako sa bagay na hindi ko nakikita pero nararamdaman mo.
At nararamdaman pa rin kita.
Pinipilit kitang buhayin
Ikaw na bangkay na sa akin.
Pinipilit kong abangan ang pagmulat ng iyong mga mata.
Ako'y patuloy na naghihintay.
Na malay mo sa araw na ito.
Sa iyong pag-gising, maisipan **** mahalin muli ako.
Mga alaala mo'y nagpapagala-gala sa aking kwarto na
Pumalit sa mga multong inaabangan ang pagtulog ko.
Pinatay mo ko pero
bumangon at babangon ako.
Naisip ko,
Ikaw ang naging duwag sa ating dalawa.
Ikaw, hindi ako.
Umalis ka dahil yun na lamang ang naisip **** solusyon.
Dahil iyon ang pinakamadaling paraan
Para problema mo'y iyong matakasan.
Ikaw ang natakot.
Ikaw ang mahina.
Ikaw,Hindi ako.
Dahil hindi mo kinayang magtagal sa ating laban.
hindi ako prinsesang laging kailangan ng pagsagip.
Mahal, Ako ang giyerang iyong tinalikuran.
At Kung nais **** bumalik
Ipangako **** ako'y hindi mo na muling lilisanin.
Bumalik ka ng walang bakas ng kaduwagan,
na ika'y sasabak muli sa ating digmaan.
Kahit ba iyong buhay ang nakasalalay.
Bumalik kang walang takot.
Hali ka, aking sundalo.
Bumalik ka kung kaya mo ng suungin ang giyerang nagngangalang ako.
This was the piece that I performed for Paint Your Poetry Slam at Satinka Naturals.
Irah Joyce Dec 2015
Isa
Isang taong nasasaktan
Isang taong umaasa
Isang taong nagbigay tiwala
Sa isang taong kanyang pinaka mamahal
Isang pagiibigan na nabuo sa loob ng isang taon
Isang magandang relasyon
Nasira ng isang sigalot
Isang pangakong bibitiwan
Ng isang pusong umaasa

Dalawa
Dalawang taong pinagtagpo
Dalawang taong nag-ibigan
Dalawang taong nagbigay kulay
Sa buhay ng isa't isa
Dalawang pusong pinag-isa
Dalawang labing nakangiti sa tuwina
Dalawang matang lumuluha
Dahil ang dalawa'y hindi na isa


Tatlo
Tatlong laruan na nagbuo ng pamilya
Tatlong laruang ginawang anak ng dalawa
Tatlong salita na nagbigay ligaya
Sa pusong tatlong taon ng umaasa
Kung may magmamahal pa ba?
Tatlong minuto kapiling ka ay sapat na
Upang mapawi ang lungkot
at mapalitan ng ligaya
Tatlong masasakit na kataga
Ang naghiwalay ng landas ng dalawa


Apat
Apat na buwan ang hinintay
Bago makamtan ang matamis kong 'OO'
Apat, ang bilang ng letra
sa isang salitang tawag mo sa akin
Noong ika-apat na beses na tayo'y nagkasama doon ka nagtapat sa'kin


Lima
Limang buwan tayong isa
Lima, ang sukat ng aking paa
Na lagi **** pinagtatawanan
Lima, ang bilang ng mga daliri ko
Na lagi **** hawak-hawak
Limang minutong yakap
madalas **** ibinibigay


Anim
Anim ang bilang ng letra
ng iyong pangalan
Anim ang dami ng nais **** alagang hayop
Anim ang bilang ng pagpunta ko sa inyo
Higit pa sa anim na beses kong uulitin ito:
Mahal pa rin kita


Pito
Pitong kontenenteng nais nating lakbayin
Pitong araw sa isang linggo
Mga araw na pinasaya mo ako
Pitong bilyong tao sa mundo
Ikaw ang pinili ko


Walo
Walo, isang numerong mahalaga sa'tin
Walo, isang numerong ginagamit
sa tuwing naglalambingan
Walo kapag pinalitan ang huling letra ng 'a'
Wala, parang tanga


Siyam
Siyam ang araw ng kaarawan ko
Siyam ang numero sa likod ng tshirt mo
Siyam katunong ng pangalan
ng matalik kong kaibigan na nasaktan ko ng lubos
Siyam and dami ng taon na bibilangin
bago matupad ang pangarap nating dalawa


Sampu*
Sampung taon mula ngayon
Ipinangako mo sakin ang isang masayang buhay
Sampung taeon mula ngayon haharap tayong dalawa sa altar
Sampung taon, maghihintay ako
Yan ang pangako ko
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Nath Rye Jan 2016
Isang pinto ang nasa aking harapan.

Pintong gawa sa kahoy. Limang tao ang lapad ng pinto, at dalawan' tao ang taas nito. Dahan-dahan 'kong hinawakan ang nakausling parte.

Hinila ko. Ang bigat.

Isang engrandeng *ballroom
ang itinatago ng pintong aking pinasok. Ang una talagang mapapansin ay ang magarang wallpaper na yumayakap sa pader. Sa pinakaharap, may hagdanan na tila hari't reyna lang ang maaring gumamit. Sa bawat dulo ng hagdanan, may mga nakapatong na gintong mga dekorasyon- mga anghel at mga hayop na makikita lamang sa panaginip. Pero, mapapatingala ka talaga sa larawan ng Diyos at mga anghel na sumasakop sa buong kaitaasan ng ballroom.

Ang amoy naman, amoy ng mamahaling pagkain.
May mga lamesa at mga plato para sa mga nais kumain

Ang unang yapak ko sa loob ay sinalubong ng mga tingin mula sa mga tao sa loob. Lahat sila'y magkamukha...

magkakambal kaya?

Nilapitan ako ng waiter. May dala-dalang alak.
"Ser, gusto niyo po ba ng-"
"Bakit magkamukha kayong lahat dito?"
Lumabas lang ang mga salita sa aking bibig. Di na ako nakapaghintay.

"Ah... ser, kung gusto niyo po ang kasagutan sa tanong niyo, sigurado akong may makakapagpaliwanag sayo nang mas maayos."

At sabay siyang umalis.

Inikot ko ang ballroom. Kinausap ko ang mga tao. May mga sumasayaw, may mga kumakanta, at mayroon pang mini magic show. May mga nakabarong, iba nama'y naka tuxedo.

Naging masaya ang mga usapan, hanggang itinanong ko ang tanong ukol sa kanilang pagiging magkamukha. Pinapasa-pasa lang nila ang tanong sa mga ibang nasa ballroom. Ika nga, "hindi nila mapapaliwanag nang mabuti."

Ano naman ang napakakumplikadong paliwanag na ito?

Lahat ba, naitanong ko na?

Nanlaki ang aking mga mata. May nakita akong nag-iisa sa dulo ng kwarto. Mukhang matalino. Nilapitan ko.

"Sarap ng pagkain."

Binigyan niya 'ko ng tingin ng pagkagulat.

Makalipas ang ilang segundo, nagsalita na rin siya.

"Ganyan ka ba talaga nagsisimula ng isang conversation?"

"Di eh. Pero masarap naman talaga. Kinailangan ko lang ilabas ang matinding damdamin ko para sa handa."

Tawanan. Pero desperado na 'ko. Gusto ko nang malaman kung bakit.

"Bakit magkamukha kayong lahat dito?"

"Ah.... ikaw ay tulog ngayon. Nananaginip ka lang. Ang bawat tao rito'y indibidwal na parte ng iyong sarili. Ang iba't-iba **** personalidad, nag anyong-tao."

"Ha?"
Ginagago ako nito, ah.

"Subukan '**** kurutin ang 'yong sarili. Di siya masakit, di ba?"

Tiningnan ko ang braso ko. Kinurot ko, yung masakit talaga.

Wala akong naramdaman.

"Gets? Ako ang parteng nais tumulong sa iba, sa kapwa-tao."

".... Maniniwala muna ako sayo, ngayon. Pero, ibig sabihin ba'y ang lahat ng personalidad ko'y pantay-pantay?"

"Hindi. Ang mga taong nasa itaas ng hagdan, sila ang pinakamalalaking parte ng 'yong sarili. Kaya sila ang mga pinakamakapangyarihan dito sa ballroom."

"At pwede akong umakyat doon?"
Gusto kong umakyat.

"Handa ka bang tanggapin ang iyong sarili? Pa'no kung puro mamamatay-tao pala ang mga nasa itaas? O magnanakaw? O sinungaling?"

"Edi ok, tanggap ko naman na di ako perpekto."

Pero sa isipan ko, natakot ako. Nakakatakot makita ang mga masasamang parte ng sarili mo, na naging sarili niyang tao.

"Edi umakyat ka. Panaginip mo 'to. 'Di akin."

"Sige, salamat pare."

"Geh."

Inakala ko na ang huli niyang sasabihin ay may relasyon sa pag-iingat, o pagkukumbinsi na 'wag na 'kong umakyat. Pero dahil sa isang "geh" na sagot niya, nahalata 'kong wala na akong makukuhang impormasyon kung di ako aakyat.

Nasa harap na ako ng hagdanan. Kung nakatayo ka pala rito, parang nakatitig ang mga gintong dekorasyon sa 'yo.

Isa-isa kong inakyat ang mga hagdan, at sa taas, may nakita akong apat na tao.
  
Yung tatlo, nakikinig at tumatawa sa biro ng isa.

"Hi...?"
Wala naman akong ibang masabi, e.

Bigla silang tumahimik at napatingin sa 'kin.
Alam na siguro nila kung sino ako, dahil nilapitan nila ako at nakipag-kamay.

"Alam mo na ba ang lugar na ito? May nagsabi na ba sa 'yo?"

"Oo. Sabi sa 'kin ng isa na kayo raw ang mga pinakamalaking parte ng aking personalidad."

"AHHH! Mali siya! Nasa impiyerno ka na ngayon. Masama ka kasi eh."

Napatingin lang ako sa kanya.

"Joke lang, 'wag naman masyadong seryoso. Edi madali na lang pala! Sige, pakilala tayo!"
Ngumiti naman ang apat.

Nauna yung tatlo.

"Ako ang parte **** responsable. Alam mo ang mga responsibilidad mo, at maaga mo tinatapos."

Wow. Responsable pala ako.

Ang pangalawa.
"Ako naman ang parte **** madasalin. Malakas ang tiwala mo sa Diyos, kaya mahilig ka magdasal."
Grabe, banal pala ako?

Ang pangatlo.
"Ako naman ang parte **** mahilig sa sports. Mapa-boxing man o swimming, o basketball. Lagi kang handa."
Parang yung bodybuilder ko lang na klasmeyt ah. Napatawa ako.

At ang pang-apat, at ang lider:
"Ako ang parte ng sarili mo na nais makatulong sa ibang tao. Handa kang magpatawa kung kailangan, pero kaya mo naman ring magseryoso. 'Di ka nang-iiwan. Tunay kang kaibigan."

Pero yung tao kanina yung nais makatulong sa ibang tao.... baka ito yung sinungaling. Bahala na.


"Kayo ang pinakamalaki? Natutuwa naman ako."
Nagtawanan lahat.

"Pero may isa pa. Ang pinakamalaki talaga sa lahat."

"Saan?"
Saan nga ba talaga?

"Dito. Halika. Bago ka magising. Para makilala mo."

Pumunta yung pang-apat sa isang dulo ng kwarto. May pinindot siya. May maliit na butas na nagpakita sa pader. Madilim. Nahirapan akong pumasok. 'Di na sumunod ang apat.

Sa gitna ng kwarto, may isang tao. Isa. Nag-iisa, kasama ng mga libro at papel.

"Ikaw ang pinakamalaking parte?"

Tumingin lang siya sa 'kin.

"Ikaw ba talaga? Ano naman sinisimbolo mo?"

"Ako ang katahimikan. Ang katahimikan sa iyong loob. Matatag ang puso mo, at kahit marami kang kinakatakutan, hindi ito nagiging hadlang sa 'yo. Ako ang nagbibigay buhay at enerhiya sa lahat ng mga personalidad mo."

*At ako'y napatahimik. Katahimikan pala ang pinakamalaking parte.
It's 3:44 am woooooooo I started at 3. ps this is in tagalog/filipino. thank you
梅香 ᵐ Jun 2018
hindi ko makakalimutan
kung paano mo hinawakan,
ang aking mga kamay
noong ako'y nalulumbay.

binawasan mo ang aking pagdadalamhati,
at ibinalik mo ang ngiti saaking mga labi;
kasiyahan ko'y ikaw ang pinagmulan,
presensiya mo'y lagi kong inaabangan.

ngayon ako'y iyong iniwan,
at puso ko'y tunay na nasugatan.
sino bang mag-aakala
na ang dating dahilan ng aking saya,
ngayon ay sanhi na ng aking mga pasa.
paalam saating maliligayang araw.
M e l l o Jul 2019
Simpleng aya lang pero alam ko na kung ano ang naglalaro sa isip mo.

Ano na? Sasama ka ba?
Wag kang mag-alala hindi ako magtatanong kung
"open minded ka ba?"

Kung matagal na tayong magkakilala
alam na alam mo na kung ano ang aking sadya.

Umpisahan natin sa simpleng kamustahan,
madalas pag ako nag-aya malamang matagal tayong hindi nagkita
Saan ba tayo magkakape?
Ayos lang ba sayo
kung d'yan lang sa tabi tabi?
Pero alam kong mas maganda
ang usapan natin sa loob ng magandang café
pero pag wala tayong budget
baka naman pwede na iyong nescafé?
Ano ba mayroon sa pagkakape?
At bakit tila ba napakaimportante?
Ang tanong ano ba ang iyong forté?
Oh natawa ka mali pala ang aking sinabi
Ang ibig sabihin ko ay ano ba
ang gusto mo sa kape?
Malamig o maiinit?
Latté ba o yung frappe ang gusto mo
okay na ko sa brewed o americano
sorry medyo lactose intolerant ako
kaya bahala ka na mamili ng gusto mo
may kwento ako habang ika'y namimili
kwentohan kita tungkol sa mga taong
minsan ko nang inaya o di kaya'y nag-aya sakin na magkape
at sana mabasa niyo din ito
alam niyo na kung sino kayo dito,
wag kayong kabahan sa pagkat
ang inyong mga pangalan ay hindi ko
ipaglalandakan masyado akong concern sa pagkakaibigan natin
baka ako ay inyong biglang iwanan wag naman.


Simulan natin ang kwento sa kaibigan kong mga lalaki,
special 'tong dalawa kasi kakaiba
yung isa ang lakas ng loob niyang ayain ako
nang makapasok kami sa café
akala ko magkakape kami
akala ko lang pala yun
aba'y pagkapasok umorder agad ako ng kape
pero siya'y umorder ng tsokolate
loko 'to na scam ako
habang yung isa well,
ako yung nag-aya medyo matagal na din kaming hindi nagkita
kaya naman ako'y nabigla bagong buhay na daw siya
at umiiwas magkape sabi niya
gusto pa daw niyang matulog
nang mahimbing mamayang gabi
kaya ayun tsokalate din ang pinili
Ano?
Alam mo na yan kung sino ka d'yan.

Kinakabahan ka na ba?
Ikaw na kasunod nito.

May dalawa pa akong kaibigan
na lalaki,
pareho silang pag nag-aaya magkape
kailangan ko pang bumyahe
yung isa mailap at andyan lang
sa makati
at yung isa kailangan ko pang mag mrt kasi nakatira siya sa quezon city
sobrang weird lang ng isa kasi
yung bagong flavor sa menu nang café
tinatry niya parati
banggitin ko yung nasubukan niyang
flavor sa teavana series ng SB
Hibiscus tea with pomegranate
nasabi mo lasang gumamela
at yung matcha & espresso fusion
na nagmadali kang umuwi pagkatapos **** uminom
Hulaan mo kung sino ka rito?


Lipat tayo sa mga kaibigan
kong mga babae
pero bago ko simulan ang kwento,
madami akong kaibigang babae na sobrang mahilig din magkape
pero pasintabi sa mga lalaki
may gusto lamang akong ipabatid
pag kaming mga babae
ang magkakasamang magkape
pag ikaw ang nobyo ng isa dito'y
malamang lovelife ninyo ang topic
wag mabahala kapatid kasi
madami dami din naman kaming
napag-uusapan maliban sa lovelife niyong medyo kinulang
minsan may nangyayari pang retohan
pero lahat yun biro lang baka mapagalitan
pag ang topic na yan ang hantungan
kung ikaw ay nasa tabing mesa lang
malamang mapapailing ka na lang
sa mga topic namin na
punong puno ng kabaliwan
minsan pinaguusapan pa namin
kung sino yung couple
na naghiwalayan kamakailan, inaamin ko
songsong couple kasama sa usapan.

Dalawang grupo 'tong kasunod.

Eto yung mga kaibigan ko na kung kami'y magkape puro deep talks ang nangyayari,
mga bagay sa mundo na hindi mo akalain nakakagulo sa taong akala mo hindi pasan ang mundo.
Mabibigat na usapan na may kasamang konti lang naman na iyakan
sama ng loob, pagkabigo at sobrang pagka stressed sa trabaho.
Ilang mura ang maririnig mo
pag sensitive ka at hindi nagmumura
hindi ka kasama dito.
Eto yung deep talks na walang tulogan
alam mo na yan part ka dito
mga usapan na kung iyong pakikinggan ay
masasabi mo sobrang weird naman
ang mga topic ay everything
under the sun yun nga lang dudugo tenga mo sa technical terms at englishan.

Eto yung grupo ng deep talks yung topic ay puro pangarap, eto yung deep talks na masasabi kong very inspirational at educational. Hindi tulad ng naunang grupo
sa ganitong usapan madami kang malalaman.
Dito lalabas ang mga katagang
"Wag mo kasing masyadong galingan"
at yung "baka hindi mo ginalingan"
Sasakit ang tiyan mo kakatawa at sasakit mata mo sa kakapigil ng iyong luha eto yung genres ng deep talks na may humor, drama, slice of life, at shoujo.
Mga usapang trabaho katulad nang parang naging monotonous at routinary na ang buhay:
Need mo lang ng new environment?
Mag bakasyon ka?
Career growth?
Feeling stagnant?
At
Mga usapang gigil sa ganitong mga tirada:
Ilang taon ka na?
Kelan ka mag-aasawa?
May boyfriend ka na ba?
Nagpapayaman ka ba?
Bakit si ano may ganito na ikaw kelan?
Naka move on ka na ba?

Ano asan kayo d'yan?
Wala ba?

May grupo din na sila laging nag-aayang magkape, mga kaibigan ko na ang usapan lagi ay magkita
sa ganitong oras ay palaging
hindi sumasakto ang dating
Pag eto yung kasama ko puro usapan namin ay mga memories noong elementary
minsan lang magkakasama pero ang samahan solid naman ang lalakas mag kulitan o ano kelan ulit tayo pupunta ng mambukal?
Sino na ang ikakasal?


Sa sobrang dami kong nabanggit
muntik ko nang makalimutan ang dalawang babae na 'to
pag kami nagkikita bakit puro ako yung napupurohan sa asaran
ang layo namin ngayon pero sana
pag-uwi ay magkakape ulit tayong tatlo
sobrang dami ko nang baong kwento malamang yung isa dyan isang maleta ang hila niyan
sagot ko na ang kape pero pakiusap
hayaan niyo muna akong makaganti.


Ang dami ko nang naikwento pero hindi mo ba naitanong
kung saan nanggaling ang pagkahilig
ko sa kape? Walk through kita sa buhay ko, mahilig magkape ang papa ko, mas naunang nakatikim ng kape ang kapatid ko, yung isa hindi mo mapipilit magkape at madalas magsimsim ang mama ko sa kape ko.

May mga tao din akong nakasama magkape, may mga sobrang ganda ng topic. Dali na kwento mo na. May mga taong tatanungin ka din kong ano ba ang hilig mo pati pagsusulat ko kinakamusta ako.
Hindi lahat alam na nagsusulat ako yung iba na may alam, kabahan kana alam **** andito ka.

Salamat sa pagbabasa, ngayon lang ako lumabas para isama ka sa obra na 'to.
Asahan mo na marami pang kasunod na iba,
nakatago lang sa kahon kung saan memoryado ko pa.


Lahat nang naikwento kong tao mahalaga sa buhay ko, yung iba nakilala ko lang nang husto dahil sa simpleng salita na "kape tayo"
Alam mo na kung bakit importante sakin ang pagkakape?
Alam mo na ang aking sadya?
Kung hindi pa baka hindi mo pa ako kilala. Handa akong magpakilala sayo, makinig sa kwento mo. Nag-aalala ka na baka isulat ko?
Sasabihan kita ng diretso kung oo.
Hindi mo pa ba ako nakasama magkape?
Ngayon pa lang inaanyayahan kita, taos puso kitang iniimbitahan.

"Kape tayo"

Sana sumama ka.
Poetry appreciation piece for my family, friends & coffee buddies
Angel Apr 2019
Mahal
Salamat, salamat sa mga araw
na nakasama kita
Salamat sa mga araw
na naramdaman kong ako'y mahalaga

Salamat sa mga araw
na ako'y iyong napasaya
Salamat dahil binigyan ako ng pagkakataon
na makilala ka

Mahal
Alam kong hindi ako,
yung taong makapag-wawasto sa'yo.
Alam kong hindi sapat,
ang mga bagay na nagawa ko

Alam kong kailanman,
hindi magkakaroon ng tayo
Alam kong mali ako,
masyado akong umasa sa mga salita mo

Mahal
Patawad kung umabot na sa
puntong napagod na 'ko
Patawad kung hindi ko na tinuloy
ang paglaban at bumitaw na 'ko

Patawad kung masyado akong
naging mapaghangad sa pagmamahal mo.
Patawad kung ika'y laging
mali sa paningin ko.

Mahal
Sana lagi **** tatandaan,
kung paano kita minahal.
Sana lagi **** ingatan ang
'yong sarili, san man magpunta

Sana sa mga panahong wala ako,
ika'y maliwanagan na.
Sana sa susunod na babaeng darating sa buhay mo,
iyong pahalagahan na.

Mahal
Huwag kang mag-alala,
kahit gaano pa man karami ang sakit na aking nadama
Lagi ko parin ipagdarasal
na sana ika'y maging masaya.

Hindi ka pa man humihingi ng patawad,
napatawad na kita
Sa lahat ng aking pagsisikap
na iyong binalewala.

Mahal
Wala akong ibang hihilingin
sa maykapal kundi ang 'yong kaligtasan
Wala akong ibang hahangarin
kundi ika'y matauhan na

Mahal na mahal kita,
higit pa sa sobra.
Mahal na mahal kita,
pero siguro tama na.
Alam ko kaarawan mo nung abril labindalawang at ngayon
Humahabol pa ako sa regalo ko na tula para lang sayo.

Naaalala kita bilang aking best friend nung intermediate palang tayo
Ngayon pati sa facebook konektado pa rin ako sayo

Paminsan-minsan ikaw nagchachat sa kin at minsan ako rin naman
Nagsheshare ng problema at nagbibigayan ng tips kahit papano man

Ngayon dalagita na tayo, marami na rin mga problema sa school at iba kaso
Gusto pa rin kita makausap ng matagalan eh marami lang talagang inaasikaso

Nagkataon nagkita tayo sa mall at ang napansin ko bigla ka tumangkad
Syempre naingit agad, hindi ako pinagpala ng diyos ng tangkad eh.

Natutuwa ako nakilala kita noon at nagkakilalan tayo ng lubos
Kahit malayo tayo sa isa't isa, at saka nagpapasalamat rin ako 

Naging best friend kita at lagi tayo nagtutulungan 
Kung may problema tayong hinaharap.

Kung alam mo lang maeffort ako kung hindi lang natatamad
Lalo na sa pagibig kung pinageffortan dapat masuklian.

Pasensya na kung nahuli ako ibigay ang regalo ko para lang talaga sayo
Nagpapasalamat ako sa lahat ng alaala natin dalawa at sa susunod pa.

Mahal kita dahil naging parte ka na rin sa buong buhay ko!

Happy Birthday! To the 16th girl Vivien Hannah Isabel Estrada!
PS: Sana matuloy yung 18th birthday mo pupunta talaga ako.
Kylie Jenner!
Eugene Aug 2017
"Hoy! Bata! Magpapakamatay ka ba?"

"Magpapakamatay ka nga e. Buhay nga naman o!"

"Sigurado ka na ba sa gagawin mo, bata? May maghahahanap ba sa iyo kapag nawala ka? May magluluksa ba sa bangkay mo kapag namatay ka?"

"Bata ka pa. Alam kong marami ka pang pangarap sa buhay mo. Kung may magulang ka pa at mga kapatid, sana naiisip mo rin sila. Sana mararamdaman mo rin ang mararamdaman nila kapag nalaman nilang magtatangka kang magpakamatay. Isipin mo bata."

"Kung desidido ka na at sa isip mo ay wala ng nagmamahal sa iyo, sige.. ituloy mo ang pagpapakamatay mo. Basta iyong pakatandaan na sa bawat yugto ng ating buhay, minsan lang tayo binigyan ng pagkakataong itama ang kung ano mang pagkakamaling nagawa natin. Wala tayong karapatang wakasan ang buhay na ipinagkaloob sa atin ng Maykapal. Sige, bata. Mauna na ako. Advance rest in peace."

Dinig na dinig ko pa ang paghampas ng malalakas na alon sa baybayin nang mga sandaling iyon. Naalala ko pang nababasa na rin ang aking mukha sa bawat tubig-alat na dumadampi sa akin noong mga panahong tinangka kong magpakamatay.

Gusto kong wakasan ang aking buhay.
Gusto kong malunod.
Gusto kong tangayin ng mga alon ang aking katawan.
Gusto kong mapuno ng tubig-alat ang aking ilong at bunganga hanggang sa mawalan na ako ng hininga at unti-unting bumulusok pailalim sa kailaliman ng dagat.

Ngunit... ang salitang binitiwan ng isang taong iyon ang nagsilbing leksiyon sa akin na pahalagahan pa ang aking buhay at ang mga taong nagmahal sa akin.

"Kung desidido ka na at sa isip mo ay walang nagmamahal sa iyo, sige, ituloy mo ang pagpapakamatay mo. Basta iyong pakatandaan na sa bawat yugto ng ating buhay, minsan lang tayo binigyan ng pagkakataong itama ang kung ano mang pagkakamaling nagawa natin. Wala tayong karapatang wakasan ang buhay na ipinagkaloob sa atin ng Maykapal."

Noon, akala ko ang pagpapakamatay ang solusyon upang takasan ko ang dagok sa aking buhay. Nawalan ako ng tunay na ina. Namatayan ako ng ama. Pinagmalupitan ako ng aking madrasta. Hindi ako minahal ng mga kapatid ko sa ama. Kaya naglayas ako at napadpad sa baybaying dagat at doon ay naisipan ko na lamang na magpatiwakal.

Nawalan man ako ng magulang pero alam kung may nagmamahal pa rin sa akin. Hindi ko sila kadugo pero lagi silang nariyan para palakasin ang loob ko. Sila ang mga tinatawag kong mga kaibigan.
Pagkatapos ng nangyari noong pagtatangka ko ay ipinagpatuloy ko ang aking buhay. Sa tulong ng aking mga kaibigan ay nagtagumpay akong maging masaya.

Hindi ako nag-iisa. Tinulungan din nila akong magbalik-loob sa Diyos. Ang mga nagawa nila ay isang napakalaking biyaya sa akin.

"Kung sa tingin mo ay hindi mo na kaya, magsabi ka lang. Kaming bahala sa iyo," naalala kong sabi ni Jem.

"Kaibigan mo kami. Huwag kang mahiyang magkuwento sa amin. Promise, makikinig kami," pag-aalo sa akin noon ni Jinky.

"Hindi lang ikaw ang may pinakamabigat na suliranin sa mundo, Igan. May mas mabigat pa sa pinagdaraanan mo. Tiwala lang na makakayanan mo ang lahat," kumpiyansa namang wika ni Kuya Ryan.

"Kalimutan mo ang mga bagay na nagpapadagdag lang ng kalungkutan diyan sa puso mo. Tandaan mo, ang Diyos ay laging nakaakbay sa iyo. Nandito ako. Narito kaming mga kaibigan mo. Tutulungan ka naming bumangon," nakangiting saad ni Charm.

"Huwag ka na ulit magtangkang magpakalunod sa dagat ha? Kapag ginawa mo ulit iyon, kami na ang lulunod sa iyo. Ha-ha. Biro lang. Lakasan mo ang loob mo. Hindi ka nag-iisa," ang loko-lokong wika ni Otep.

Sa tuwing maalala ko ang mga kataga at salitang galing sa mga tunay kong kaibigan, panatag palagi ang loob ko na hindi ko na uulitin ang nangyaring iyon sa buhay ko. Papahalagahan ko ang hiram na buhay na ipinagkaloob sa akin ng Maykapal. Gagawin ko ang lahat upang maging masaya.

Narito ako ngayon sa Manila Bay at naglalakad-lakad. Gusto ko lang sariwain ang mga alaalang naging tulay noon upang pahalagahan ang buhay ko ngayon. Hindi man lamang ako nakapagpasalamat sa taong sumaway sa akin noon. Kung may pagkakataong makita ko man siya ay taos-puso akong magpapasalamat sa kaniya.

Pinagmasdan ko ang karagatan. Wala pang isang minuto akong naroon ay may nahagip ng mga mata ako ang isang babae na dumaan sa harapan ko. Patungo siya sa mabatong bahagi. Tila wala siya sa kaniyang sarili.

Nilingon ko ang paligid. Wala man lamang nakapansin sa kaniya. At wala ngang masyadong tao na naroon nang mga oras na iyon.

Mukhang magpapakamatay yata siya. Alam ko ang eksenang ito. Kung dati ako ang nasa posisyon niya, ngayon naman ay ang babaeng ito. At dahil ayokong may mangyaring masama sa kaniya, ako naman ngayon ang gagawa ng paraan para matulungan siya.

"Miss, magpapakamatay ka ba?" hindi niya ako nilingon.

"Magpapakamatay ka nga. Sigurado ka na ba sa gagawin mo?" lumingon siya sa akin at kitang-kita ko ang luhaan niyang mukha.

"Alam ba ng pamilya mo ang gagawin mo? Alam mo ba ang mararamdaman ng ina at ama mo kapag nawala ka? Sa tingin mo ba ay tama ang gagawin mo?" nakita kong napabuntong-hininga siya na tila nag-iisip sa mga ibinabatong tanong ko.

"Napagdaanan ko na rin iyan at diyan din mismo sa mga batong iyan ako dapat na magpapakamatay. Pero... hindi ko itinuloy. Alam mo ba kung bakit?" tumingin siya sa gawi ko at nagtama ang aming paningin. Parehong nangungusap.

"Ba-bakit?" nauutal niyang tanong sa akin.

"Bakit? Dahil wala tayong karapatang wakasan ang buhay na ipinagkaloob sa atin ng Maykapal. Ang buhay natin ay mahalaga. Sana maisip mo iyon. Hindi pa huli ang lahat para itama ang mga bagay na sa tingin mo ay mali o nagawa mo. Hiram lamang ang buhay natin. Magtiwala ka, Miss. Mahal tayo ng Panginoon. Mahal niya ang buhay natin. At alam kong mahal mo rin ang buhay mo," iyon ang mga huling katagang binitiwan ko saka ako tumalikod sa kaniya.

Hindi pa man ako nakakahakbang ay narinig kong tinawag niya ako. At nang lumingon ako ay bigla na lamang niya akong niyakap.

**

Ang pangalan niya ay Yssa at siya lang naman ang babaeng tinulungan ko tatlong buwan na ang nakararaan. Siya lang naman ngayon ang kasintahan ko. Pareho kaming nagtangkang wakasan ang aming buhay, ngunit pareho din naming napagtantong hiram lamang ito at dapat na mahalin namin. Sinong mag-aakala na kami ang magkakatuluyan sa huli?
AUGUST Jan 2019
Ibubulong nalang sa hangin,ang bawat pagsumamo
Paano ba maipaparating, ang nadarama ng puso
lagi kitang inaalala malayo ka man sakin
Kelan ba tayo magkikita ang hangad nitong damdamin

Sa panaginip nalang makikita matutupad ang pangarap
Sa panaginip nalang ang pagsinta duun nalang magaganap
Mga pangako at sumpaan paano na matutupad
Walang kasiguraduhan kung saan ba mapapadpad

Tadhanang mapaglaro, magkalayo at di pinagtagpo
Ba't Sadyang mapagbiro kahit may lalim bawat pagsuyo
Dating hawak ang ‘yong kamay, ngayon sa guni guni
Buhat ng ikaw ay mawalay, nasisilayan sa muni muni

Sinagot ma’y marami paring Katanungan
Lahat ba ng tanong? wala pa ring kasagutan
Kung may dulo ang daan, Saan ba ang hantungan
Kung ito’y may hangganan, Ano ba ang pupuntahan

Sa kapalarang magkatugma, kahit na isa kang dayuhan
Ng pagmamahalang mahiwaga , na tayo ay nagkaunawaan
Tunay nga na ang pagibig may isang diwa
Tayo’y Itinadhana, Magkaiba man ang ating pananalita

Andito lang ako, Malayo parin ang distansya,
Naghihintay sayo, Malapit nang mapuno ang Pasensya
Dito sa kaganapang di mapapaliwanag ng sihensya
Kung ba't ikaw, ikaw ang hinahanap ng konsensya

Kahit wala ka.....

Di na makapaghintay sa panahon ng iyong pagbabalik
Pagkakataong tayo’y muling magkita, ako’y nananabik
Minsan pa sanay lumantay ang yakap mo’t mga halik
Nang sana ang sigaw ko’y tuluyan nang matahimik

*Para sa mahal kong si Reina
Ngunit sana maunawaan nya ang tula ko.

— The End —