Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Andrew T Hannah Apr 2014
Praeludium in via ...

Vidi heri mane quando ridebam coloribus egregiis,
Eradere auro , trans tabula caeli , tentorium ...
Excelsus super omnes montes mundi mole fratres
Nimborum desertum , ubi non sit humana exsuscitatur .
Et non vidi nobili altitudo futura ...
Bonitas terribilis Vidi , *** indomitus.
Et peregrinare in ea carne existimarem Semel tamen divina ,
Nunc datum est scire , et non confundamur ab eo opus .
Ambulavitque *** Deo, quod nunc facio , et passus est ... accentus
Proditio amor et passionibus , quamvis non recipiat ecclesia ,
Divinitatis naturam , ne occulta omnia confitentur ?
Audis tu solus in universo ab duces ineptum
Ipsos victu pascuntur finguntur mendacii .
Sed ambulavit in vobis, ex ea ipsa mundi redivivi ,
Proelia ante hos annos multos, in carne nostra, amissis vate sacro .
Nos sequi vestigia veterum monumentis, ut ostensum est ;
Quia ex nihilo nati sumus , et adhuc in filiis tuis, ac spatium vivendi ,
Latebunt , quo melius in manifesto , vultus ingenio tegmina.
Ego sum primus , et consilium ... Memini tamen alta urantur
Humanis uti licet , *** aliena michi negotium.
Lorem quid ad ignorantiam et extra ,
Quia vidisti me in tenebris, in ardentem rogum meum .
Si sustinuero , praeire , ubi angeli labuntur ...
Quis autem, si non satis est dedicata piget.
Irrisorie , quoniam ego scio quod salventur , et saepe etiam ,
Post tantum est **** , et sic esset forma in re firmatam ?
Imago Dei , huc ad nos omnes in sanguine ipsius ,
A primis ad ultima, ut alpha et omega, gladius acutus .

Prologus : ( Os meum labitur )

Puer fui servus ad aras tam sacras ,
Hymnis immaculatorum : et absque iniquitate .
Quod *** ipse portabat diadema thons nudus ...
Expositum Spiritus meus, qui intellexi gravitatem.
Quis credit sanctum profanae habitu virtutum
Et illi qui in eo sunt ut carnifices ovis ad occisionem ,
Innocentes cogit induere larvis ad porcellana et operuerunt capita sua ,
Et filii eorum diriperent pueritia , vinctus catenis rudis .
Sicut teenager : ambulans in naturis hominum omnium adprobante ,
Et egressus est a me omnes, qui violatores extiterunt in coinquinatione verebatur .
Angelo fidem reperto cecidi inveni sanctitati
Nomen meum in ea , et curet abluitur dubium inveni .
Venit ad nuptias, et omnes dedi uxorem proditione ,
In solutione huius coniunctionis nostrae et sine intervallo in solitudinem imposuit ?
Traiectus mortalis caro mea reliquit me solum in sanguinem ,
Cor ejus scissum est , absque omni cultu ex ordine funem .
Angelus autem meus et leniat iras mansit dolori
Mea lux, in vigiliis, in nigrum, quod est victa ,
Admonens quia carnis mortalitate ... maxime
Angelus vult me et tremor et durum accepimus.
Et ego factus sum quam ... traumas vitae ac lacrimis
Et dimisit , in specie quae sunt post , veluti a me plagas .
Nox deinde calor intensior saunas percipimus ...
Sicut est mihi in choro , relictum est , nisi ab illo esse extensum ,
Et invicem tradent , et mortalem , ut impunita essent, sed numquam mihi ...
Non tradent ; effundam spiritum meum , et non totum .
FYLACTERIUM creare ex omni me , et oculus innocens ...
Quod amari posco sum ​​ut carbo margarita alba et nigra ;

Section I : Sacrificium Doll

Part I : ( litus sanguinem )

Ne revoces me pupa enim priscis recesserunt cavernam
Sunt inanima appetant , non realis forma in utero ;
A puero bibere rubeam ore exploratores in vastissimam taberna ...
Dum nati psallens FARRATUS agros effusi .
Vadimus ad domum Dei , in plagis , in magna pecunia debetis ...
Hoc non est ad oras Nunc cruore manant strigitu rubra de memoria , polluetur .
Nulla est enim me primus ad ignitionem gloriae ...
Quando autem mens aeterna , in omnibus placentes, causabatur laetitiam .
In stellis ibi verba quae ego volo inauditum revocare,
Quia descendi ita pridem apud venire primum ?
Sollicitus purus fabrica MYSTICUS chaos genitus antiquorum
Mitti expectant limine signa magica.
Interdictum revertatur in carminibus meis , Licinius, ut audacia ,
Quia oblitus est mei fere est: nunc originem , ut tragici.
*** filii bibere, et se abscondunt nati seorsum
*** aquæ in sanguinem, et super triticum, et arefecit fœnum, et humida !
Signum quod venturum est mutare et laboro mentem.
Facies in luna ALLUCINOR in metu torquetur , horror ...
Dumque in fauces manu stare super pectus
Inter ordines diu frumentum umbra nigro ambula
Genus servo meo animas infantium .
Aestas flavescunt, Phoebe caelesti audent .
Mea sola mcestas lupus sonitum audiri potest ,
Et *** feris leo in pontumque moueri relinquere ...
A natura mihi dolet cupio concupivit paradisus reducat .
Vidi terram terror , ut sanguis in sinu
Ater sanguis in terra , quae facit viventia ululare ...
Sicut **** habet stultitia non dicam prava vel !

Part II : ( Crucifixo et Inferorum Animas Excitat)

Nam inertis est gemere pupa altari parato, in sacrificium,
In lapidem calcarium, et in cavernam, ubi sunt wettest fingit arcus !
Un - res sunt, sed etiam *** vivit in vulneribus animae , ut in glaciem ,
In horrore frigoris fictilem , ita *** pedibus non vocavit.
Serpentipedi mucrone subrecto , remittit praecise a pupa in collo ,
Et non potest dici , quia non habet pupa voce clamare.
Puer, et egressus est a tabernam , aspectus eorum quasi a naufragii vile ...
Ut curem hominem a superioribus agentibus , corpus totum mundum.
Infra in concavis locorum asperitate visa petram
Magna voces resonare in tenebras , et vocavit nomen tacuit.
Eripuit animam trahit nauta Multo gregis
Ubi aereum reddet unicuique antiquum signum desideratum .
Et venit ad bibendum aquas illas vitae malis mederi ...
Porcellana , et liberatus a vinculis mortis obscuris sentiat frigore ;
Animas in captivitate , unde nemo mortalium loqui
Sed statim liberavit remotis perforabit clavi ...
Omnis **** , qui dicitur Golgotha ​​, olim in cruce positus .
Omnis autem mulier quoque, ad quod omnes tales sunt tormento
Et facta est , dum consummaretur sacrificium insita primum sic infirma est,
Et intantum ut nisl tot annis perpessi .
Signati post fata diu Quod murus ignis in Terra ,
Stigmatibus ferre posset ita etiam multa futura!
Quod signum erat in manu mea, ut labatur pes meus, et dimittam ...
Tamen adhuc vetera perseverare illusionibus , et non possum excitare multos .
Ego, qui iam tantum conligati Lorem ferrum quid reale,
Factaque est infinita in dolo : Ego sum ​​, et desiderio erat pax.
Nam et ego quod negas , nisi aspera ac rudia mei liberatione ;
Angelus liberavit me , et nunc inter saevus sigillum frangere conantur .

Part III : ( The Return of lux)

Qui a mortuis Surrexit , frigidior , ubi de somno , ultrices in somnis , per
Et obliti sunt intelligentiae invocatum est super sancta miserunt innoxia verba ...
Et inde apud hominem , ut maneat MYSTICUS sequuntur revertamur ,
Ea aetate in inferno commemoratione praeteritorum.
Qui suscitavit eis manum meam , et pugionem eius lumen gloriae,
Relicta meae effercio fluere sanguis subito currere libero.
Ex profundo flamma surgit millennial amisso puella puer ,
Quæ est angeli redivivam sinit luce clarius ostendit .
Et omnis qui non occaecat oculos ad intima ;
Infideles , in momento temporis ponere in obprobrium .
*** stellae ab Diua sacrorum opera voluntatis
Dum coccineum limen transeat , lucem adfert .
Momento enim omnes in caelo et in terris sunt ,
Sicut dies longus tandem inclinatus ante noctem veniat .
In tenebris , claritas multo maiorem et perfectiorem descendit ,
Eorum, qui dum in nomine meo orbata est devium.
Sicut incensum in conspectu angelorum ira animos eorum , occlusum ...
Ferrum IRRETUS texturae talis effugere nequeunt carcerem
Nam quicquid occaecat vidit lucem et scindit
Nisi quia in templis revellens mortalibus irae.
Et , postquam ipsæ fuerint fornicatæ infidelium , ut uoles, petulans ,
Et factum est in excogitando dogma , quod de ratione immemor ?
Horrendum non fides sit , tamen ita fecisse ,
Ante finem exspectent praemia petunt .
*** enim , ut est in paradisum suscipit dereliquerunt ...
Imago autem libertatis quam servitutis et negotio.
Nimia tempus extractam converterat a gladio:
****, ut spectet ad salutem in lucem , caeca lumina sua .

Antiphon alpha :
Quia hoc est ut , barbaris quoque innocentiae gentilitium mendacium vendere ...
Numquid et vos vultis emere , aut aliquam nunc forsitan putas,
Ad sciendum neque rationi consentaneum neque aetate sapientes ...
Quod si non moverent malles *** saltare!
Pleni sunt somnia noctes ; Dies mei tantum ...
Ego ad bis et quem maxime diligebam , in purpura quoque , et aprico occasus .
Ego autem haec imago non ad tangere memoriam tot ,
Qui replet in sanguinem furoris me , et frigidam desiderio finis .
Et considerandum est quod *** in ultima desperatione rerum , in cuius manu mea, equo et pilos in ore gladii ,
Nam ni ita esset, nunquam tamen inde trans familia .
Sed abusus est , ut fuit, et quidem instar caedentes sepem
An ut reliquos omnes transcendunt omnia , amice!
Ego superfui , transfiguravi ascendi in fine est ,
Multo magis quam erat, non plus quam diruere animus .
Sed tamen , quia speravi in solitudinem , ut a somno exsuscitem ancillam meam in flamma ...
Ardet , o superi, ut arbitror , usque uror dissiliunt!
De caelo et magis obscurant vestris, et tridentes, et contritio ,
Audio furorem tympana caelo antiqui gigantes hiemes.
Dii irascantur et ecce valide erutas ,
Uvasque calcantes Angeli hominis Illi autem vinariis ageretur ...
Recordatus sum in omnibus navigantibus battleship galaxies ,
In die ortus nubes inter exaestuans, quod ' vaporem ...
Depopulari Sodomam et Gomorrham, ad contumelias !
Ibi eram: et *** impiis non perire denique gemitu.
Ut illuderet mihi : et populus , quia ego bonus sum male velle ,
A Deo est, quam diu tot mala ferre cogetur .
Ego autem non sum solus , quia multa in eo et detorqueri
Deus remittit, nam adhuc sed non est intellectus ;

Section II : Hostiam de Spider

Part I : ( Rident Primus )

Caelum non egerunt pœnitentiam super ulcus nigrum est furore , et in indignatione, et in iustitia :
Et factus sum caro , quamvis intellectus non mortale .
In antro loca , quæ transivi , et dæmonia multa discurrunt ,
Et locis minus adhuc amor in search of a provocare .
In quo autem in craticiis tectoria atria mea, et thronus fuit stabilis ...
Et super collem , ubi dolorum laborum animae perit labor in mundanis ,
Transcendi vincula et consilio fidelium expectabo laudatur.
Ignis et sulphur et, semper est dextera arderent super altare ?
Ridentem cogo faciem meam : non enim veni , ut velle,
Ut in hora *** iam iuvenem, *** proposito aureum ...
Quæ pro impenso super solidum, pretium quis ,
Qui autem non cognovit , quomodo cupiam sibi solvere ...
Furor solitudinis nascitur ira nascitur ex malitia,
Qui autem contemnunt me , quia sine causa Provocantes me .
Quid est **** , impunitatem , ne quis putaret se excusat ;
Quam sapere , *** culturis tuum: mergi , in balneis , in ardentem .
Loquor de inferno, qui est infidelis nescis ?
Neque enim suis oculis effossis clavorum ...
Loquor cruciatus qui daemonia fecerunt superat .
Primus erit mihi dolor meus *** omnis fera voluntas ut ratio ...
Ut qui me conspui caro quod ambulans ,
Nescis modo larva facies mea , abscondens se.
Attendit ad illa nihil nisi insipientis solis erratur in sonis cantus
Tantum numerus ratus e fratre soror .
Sed in caelestibus quae sine causa nata est incestus est alchemical ?
Habitat in me peccatum occultum compages sǽculo.
Sit mihi vim inter gentes auditus est ABSURDUS musica ...
Spiritus meus qui regit omne simile est genitus.

Part II ( vindicta aurum )

In hortos, in quibus cupiditas sanguis rosaria semina ,
I , in manu eorum , qui esurit Quorum sitit aquam surgit !
In quaerere dilectionis affectum bestiis pavi eget
Quid faciam ut pudeat , habet me non elit .
O **** , quo impune ausu palamque vociferari ,
Quod amor sit ex me credis , et me opus manuum tuarum ,
Ut timidus , et cucurrit ad me latere turba depravari ,
In simulata excellentiam tuam , et ipse te vile animal .
Coniunctio oris linguae quasi telam laqueari
Si fieri potest araneae ; et fugiet a turpis ut octo pedes nidum ...
Et *** jam non calidus humanitatis indignum ,
Cogitans te meliorem quam reliqui descendes !
Ut vitae pretium millies , tibimetipsi .
Creaturam factus sum nocte expectant te aranea heu !
Nolite putare quia ego audirem . utrumque stridens cruris ...
Odium ductor tuus , et equi ejus , et ascensorem ejus .
Et in vestra web Video vos, Quirites immune ungues acuti ,
Ad toxicus venenum , quod oculis non potes, nisi te , octo ...
Ex quo bases Caesios sine timore, et sic primum
Ut dolores tuos comedat vos accendentes ignem caelum ;
Detur paenitentiae venia , quae dicis omnia cogit , ne superare dolores ,
Qui tibi semper, quæ videtur , non est potentia ad non noceat .
Et ascendit ulterius sapere plus pavoris tui ...
Numquam puerile ludibrium ulla facta .
Omnis domus tua dissolutae horologiorum ad socium non est ?
In desertis chaos est gaudium, ut si quod habuerunt.
Surgit in novum ordinem , nemo potest negare chaos genitus locus ,
Dum descendes perdunt, muneribus laesae.

PARS III ( Ultimo Rident)

Et sic videtur quod Angelus se et ante deam
Angelus autem nominis vocare aliquis tenuerit formarum.
Et qui in illis est , maiora sunt, ego saepe ad extraneas ,
Fingunt enim se perfectum , ignorant eorum saevitum ,
Num amor crustacea tam veteri quam in praedam , et mendicum ,
Quod minus quam tuum est , quam sumpsi eaque cibum ...
Est autem tarn coquina sicut clibanus tua vadit et ora
Ipse, ipse est extra te praemium virtutis tuae chores ,
Sicut enim res suo cuidam negotium , qui meretricem ... Lorem ipsum leve,
Putas praemium amaret , et mendicum , falli te .
Quid autem vocatis me alienum **** ... amor est malum , et hoc pudet,
Et similiter anima atque animus , quibus tandem corpus infirmare.
Vides tantum larva ... sub aspectu nisurum
Larva ut me in tenebris tenebris latet .
Circa collum tuum habebis , ut falsae aestimationis pendet a mortuis, et corona ,
Quia sterilis tibi relinquo mundum , Intenta ancillæ.
Consurgitur in excitate de reliquis abire tibi , qui sunt cognati mei
De manibus eorum procul offendant pedes vestri ?
Qui manet in coemeterio quasi mortui
Non tollere incorruptione Nimis tibi dubium .
Hue tacito lachrymis virgines flere ...
Ad mea, et robur , in quo praeda, gregibus rursum super vias hominum ,
Ad eos qui non ineptis metus mutetur ,
Aureus transmutare non magis quam plumbea nocte dies ;
Quod verum est de fine , qui scit ... Alchemist
Magistra rerum artes a me in profundum.
Ágite , quod sum aggressus creatura placet mutare ...
Ut res sunt nostrae demiurgorum lasciva oscula enim calidius ?

Omega Antiphon :
Non est autem in Utopia , non videtur quod ...
Donec ut nosmet ipsos cognoscimus prima quaerimus imaginem .
*** et in sacrificio sui ipsius , a volunt reddi obsequium ...
Qui ad reformandam et divina se , *** Leo renata agnus mitis !
Sicut in Christo, ex parte in qua invocatum est cicatrix, et vulneratus est ...
Sed simplex conversio ad dissimilis vultus nolui .
Memini dolore meo, ut acer et vehemens ...
Donee tantum possum emissus dolor servare sensu caret.
Quomodo potest aedificare paradisum non est, nisi in se mutant ;
Mutare ante mutatum esse non est in medio ; quae est in via .
Qua ad paradisum , et oportet eam, et non deficiunt,
Ne ad caelum, nisi quam nos aedificare illud infernum iniustitiis nos .
Utopia , non ruunt ad genus humanum, nisi a te, tu es qui habitavit ?
Nisi quod est extra omne malum quod in se corrumpunt ,
Manifestum enim est , nisi malum, quod mundatam ab omnibus malis moribus.
Tunc malitia faciatis abstulit senex super pluteo tom .
An non intellegat , quid est salvator ...
*** diceret quod non omne quod simplices filii ingredi
Regnum caelorum , et inde ad delectationem pertinere ...
Et quomodo potes perfrui , si tibi placet , cauillando crudelis ?
*** aurora tempore domini nituntur hominum planeta ...
Numquam imaginandi praecipiet ut discat primum voluntatis.
Non armorum vi , nec inutile mandatum ...
Sed *** modestia , et misericordia ; ergo qui ad cor suum in satietatem,
Gáudii innumerabiles et celebrationibus quae causa ?
Sed animus intendatur dolores peccatum lacus.
Ubi plausus rotundum vt quilibet sensus ?
Modernitatem iocabitur ullum definitum ornare.

Section III : sacrificium sui

Part I : ( hortos perditio )

A ziggurat sublatus est , arenosa in calidum lateres , quos coquetis in igne ...
Septem fabulae in caelum, sicut turris Babel ,
Quod in solitudinem, et in
This is how this poem is meant to be read. In it's original form.
Latin is nothing but the purest form of expression when it comes to language.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Aridea P Oct 2011
Fadil sungguh memilikinya
Akan bahagia terasa selamanya
Dihiasi lirik lagu yang indah
Itulah momen special sepanjang masa, dengan
Luapan cinta kasih di sekelilingnya

Angkasa, bagai terbang melayang
Nuansa hati hadir tercipta
Ejaan kata terhias di awan-awan
Sungguh indah langit terhias

Pegang tangan erat-erat
Untuk menantang tornado yang datang
Tak terlepas, bahkan jangan sampai
Riang selalu walau terhempas
Agar cinta kan sampai bersama di surga
Aridea P Oct 2011
Selasa, 15 Juni 2010

Ku ingin s'lamanya
Mendengar indahnya suaramu
Melihat rupawan wajahmu
Ku ingin sekali saja
Menyentuh hangat tubuhmu
Menggenggam erat tanganmu
Memeluk erat tubuhmu
Mencium pipimu

Kakak... Ku ingin s'lamanya
Mengagumi dirimu
Mencintai ragamu
Memiliki jiwamu

Created by. Aridea .P
Aridea P Oct 2011
Palembang, Rabu 26 Juli 2011

Aku sayang dia
Aku jaga dia sejak pertama ku milikinya
Ku genggam erat dia seakan tak ingin berpisah
Ku selalu awasi dia tak ingin kehilangannya

Dia selalu ada di setiap ku butuh
Kawan terbaik mencurahkan inspirasiku
Tak terbayang jika dia pergi tinggalkan ku
Atau hanya hilang tanpa jejak atau pesan sekalipun

Yang pertama, tak bisa terganti
Sekali sayang, dan akan terus selamanya
Perasaanku tak tercurah tanpanya
Berhari-hari aku bersamanya dengan setia

Namun di hari itu aku kecewa
Yang aku sayang yang terus aku jaga
Dia mati di kala waktunya belum tiba
Aku kecewa ketika mereka membunuhnya

Aku marah, aku kesal
Aku minta mereka mengembalikannya
Tapi yang ku dapat hanya heningan
Tanda mereka tak mau berbuat apa-apa

Aku sudah tahu jawaban mereka
Meskipun belum terucap, hanya bahasa gerak
Mereka tidak mengerti rasanya kehilangan
Mereka tidak peduli dengan perasan orang

Ku hanya ingin pertanggungjawaban
Dan kembalikan dia kembali ke genggamanku
Tolong sekali saja Kalian mngerti perasaan seseorang
Dia adalah pena ungu yang paling ku sayang

"Pena Ungu ku tinggal kenangan"
ga Aug 2017
Temukan aku, cari aku
Hancurkan aku, remukkan aku
Caci diriku hinakan jiwaku
Buat aku berlutut menangis di hadapanmu
Hempaskan tubuhku rebahkan kepalaku
Lakukanlah, hancurkan diriku.

Tapi ketika saatnya tiba
Ulurkan tanganmu, raihlah kepalaku
Berjongkoklah, sentuh pipiku
Elus rambutku hapus air mataku
Tundukkan kepalamu, dekatkan ke telingaku
Bisikkan padaku sebuah kata dari dalam hatimu
Hembuskan padaku sebuah harapan
Lantunkan lagu itu, lagu kehidupan

Tatap mataku, ajak aku berdiri
Pandang wajahku, yakinkan aku
Genggamlah tanganku sementara kau mulai melangkah
Peluk erat jariku dengan jemari lentikmu
Berikan hangat tubuhmu, genggam erat tanganku

Ayunkan kakimu, berlarilah
Bawa aku bersamamu, beri aku jalan
Menolehlah sesekali ke belakang
Aku akan tetap berada di sana
Memandangi jemarimu memeluk jemariku
02/04/16
Aridea P Oct 2011
Ku duduk di sini
Bersama hati di dalam
Kami tersenyum riang
Tawa kami memancar cahaya
Yang indah menghiasi awan
Dengan alunan angin sejuk
Menyegarkan saat hari bahagia

Dunia ku kini indah
Hati ku tak lagi terikat
Hanya senyum manis yang indah
Ku harap abadi tuk selamanya

Berpegang erat tangan
Kata manis mulai terucap
Perkara ku buang jauh
Semoga hilang tak kembali
Agar kami bahagia
Kalahkan rintangan
Dan hidup bahagia bersama
Donall Dempsey Feb 2018
THE VERY THING IT WAS REQUIRED TO BE SHOWN
( for J.L )

"I like birds
more than books."

a young Edward
Thomas thinks

scribbling it
in bad Latin

on the fly leaf of
an algebra book.

A chaffinch chuckles.

"Vink...vink...vink!" it urges
in a regional accent.

"Fringilla Coelebs!"
Edward addresses it.

"Sheld-appel...spink..blue cap!"
the bird disowns its names

content with being
itself and itself

only.

It looks as if it has
just stepped out of the 15th century

illuminated maunuscript
The Shelbourne Missal.

"A caterpillar skeletonising a leaf
mmm...breakfast mefinks!"

The year  1895
madly in love with its own

sunlight
never such sunlight

as this
the window holds the scene

as if it were
a living painting.

The bird behind the glass
poetry in just being.

The torture of
an algebra class

"Quod erat demonstrandum."
***Reading Jean Moorcroft Wilson's wonderful biography EDWARD THOMAS -FROM ADLESTROP TO ARRAS. I was struck by the tiny detail of the algebra book. A chaffinch had just landed on our bird table and had its fill of suet. So I imagined Thomas longing for escape from algebra in the glory of this common bird. The chaffinch is of course busy being a chaffinch and busy eating its favourite food...a juicy defoliating caterpillar. It has no notion of its human names and only knows the poetry of being itself.

The title comes from the Greek translation of the phrase rather than the Latin ( which yields, "what was to be demonstrated")which methinks is more apt.

To myself in the De La Salle Academy in Kildare in an equally sunny day in my own time...it was always...Quite Easily Done! Alas Algebra and all its Mathematical kin were never kind to me and it was never easily done.

The chaffinch was once popular as a caged song bird and large numbers of wild birds were trapped and sold. At the end of the 19th century trapping even depleted the number of birds in London parks. In Britain the practice of keeping chaffinches as pets declined after the trapping of wild birds was outlawed by the Wild Birds Protection Acts of 1880 to 1896.

In 1882 the English publisher Samuel Orchart Beeton issued a guide on the care of caged birds and included the recommendation:

"To parents and guardians plagued with a morose and sulky boy, my advice is, buy him a chaffinch."

Competitions were held where bets were placed on which caged chaffinch would repeat its song the greatest number of times. The birds were sometimes blinded with a hot needle in the belief that this encouraged them to sing.

The chaffinch is still a popular pet bird in some European countries. In Belgium, for example, the traditional sport of Vinkenzetting pits male chaffinches against one another in a contest for the most bird calls in an hour.

Hardy's THE BLINDED BIRD rails against this habit of blinding in order to sing more fully.

"Who hath charity? This bird.
Who suffereth long and is kind,
Is not provoked, though blind
And alive ensepulchred?
Who hopeth, endureth all things?
Who thinketh no evil, but sings?
Who is divine? This bird."

In Irish it is Rí-rua...red king or king of the wild. As well as it's blue crown it has rusty red underparts or underpants as my Uncle Michael called them which would account for the rusty or red part of its name.
***

For half a day there was now a world of snow, a myriad flakes falling, a myriad rising, and nothing more than the sound of rivers; and now a world of green undulating hills that smiled in the lap of the grey mountains, over which moved large clouds, sometimes tumultuous and grey,  sometimes  white and slow, but always fringed with fire. When the snow came, the mountains dissolved and were not. When the mountains were born again out of the snow, the snow seemed but to have polished the grass,  and put a sharper sweetness in the song of the thrush and the call of the curlew, and left the  thinnest of cirrus clouds upon the bare field, where it clung only to the weeds.

Edward Thomas – BEAUTIFUL WALES( 1905)

“….words of landscape…landscapes are what I seem to be  made for…nearly all  of it without humanity except what it may owe to a lanky shadow of myself – I stretch over big landscapes just as my shadow does at dawn…”

Letter to Bottomley
Aridea P Oct 2011
Jiwa ku terbang
Raga ku hilang
Raga ku menangis
Hati ku mencari

Saay hancur hati ku
Berkeping-keping bagai sisik
Susah dicari untuk dihiasi lagi
Untuk menjadi seutuhnya hati

Serpihan hati ini terbang
Sisa, ku peluk erat sampai ku mati
Sampai kembali lagi
Jiwa dan raga ku ke sini

Tempat terindah kini hatiku
Saat menemukan mereka
Dalam buaian hangat
Hidupku indah untuk selamanya

Le Gra,
created by. Aridea Purple
M Aiman A Jun 2018
Cinta aku walau mati
Masih hidup
Dalam tulisan ku
Dalam setiap bibit kata cinta
Melalui dakwat air mata
Dan setiap barisan lara

Cinta aku walau sudah lama pergi
Masih bernafas
Dalam bait bait permata
Sulaman nafas cinta pertama
Di atas sehelai selendang
Yang dulu mengikat erat akal dan nyawa

Cinta aku tetap hidup dan bernafas
Di atas empat penjuru putih
batasan terakhir nyawa cinta ini
Yang jasad sudah lama hilang
Ditelan masa manusia
This is in malay. Feel free to let me know if you want the translated version
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
Megitta Ignacia Apr 2019
Pasir memeluk kakiku, tak mau melepaskanku.
Licinnya pasir berkali-kali membuatku terhisap.
Sama seperti pelukanmu kala itu,
yang terus mengunciku,
berontak tiada artinya
sampai akhirnya jiwaku tunduk pula padamu.

Kita pernah bahagia,
Bagai burung-burung yang terbang rendah, bermain-main diantara air,
Mengintip manisnya pantulan diri air biru.

Yang lama terasa singkat.
Seperti langit merah muda yang lama lama termakan kabut pindah ke kegelapan malam yang menenangkan hanya dalam hitungan detik.

Bagai kapal yang mengapung terombang ambing kencangnya ombak,
Ia tetap teguh karena telah menjatuhkan jangkarnya.
Begitulah aku ketika pada akhirnya hanya kau dijiwaku.

Namun arus laut begitu kuat,
begitu sulit untuk berenang pada arah tujuan.
Semesta punya ceritanya,
berkali-kali kupaksakan tubuhku tak terbawa arus,
namun kakiku lemah, terus menerus terobek tajamnya batu karang yang tak kelihatan.
Mungkin itu cara semesta beritahu
bahwa disana bukan tempat yang aman bagiku.

Aku menyerah.
Seperti butiran pasir yang kugenggam erat dibawah air laut,
satu per satu rontok,
aku tergoda untuk membuka tanganku di bawah air
dan menyaksikan kemegahan pasir-pasir kecil yang jatuh menghilang terseret air.
Itulah kau.

Laut punya caranya.
Semuanya akan terjadi alami.
Semesta poros pengaturnya.
Biarlah laut hapuskan kau.

Tenang saja,
aku akan kembali baik-baik saja.
Seperti debur ombak yang menyapu kasarnya pasir, ia mampu mendatarkan lintasannya yang sebelumnya hancur teracak-acak angin.

Bagai tapak kaki di basahnya pasir,
berjejak namun akan segera hilang begitu terhanyut ombak ataupun angin yg berhembus.
060419 | 9:38 AM | Kost Warmadewa
ditulis sebelum berangkat kerja,setelah kukirimkan teks panjang padamu.

"are we done?"
"
KA Poetry Jan 2018
Ruang-ruang kosong di jiwa
Sangat merindukanmu
Langit berbintang memelukku erat
Hingga sendiri menjadi nyaman

Terbanglah bersamaku bila kau mau
Kau tahu hanya butuh memanggil namaku
Genggamlah tanganku
Kau tahu kau tidak sendiri melawan dunia ini

Hati akan berbicara
Bila kegundahan menerpa
Meski tak sempurna
Cintaku akan mengisi gema ruang-ruang hatimu

Disisimu, akan kubawa kau berlayar
Menuju dunia tanpa kesedihan
Disisiku, akan kubuat kau bahagia
Membuat dirimu merangkum rasa.
02/01/2018 | 22.00 | Indonesia| K.***
Alia Ruray Nov 2015
Lalu ia sadar.*

Ia menggenggam erat juwita pujaannya,
menyediakan tempat bersandar
serta kebutuhan pokok.

Semua indah, semua nyenyak.
Ia dan juwita melampaui batas,
menghasilkan surga di atas bumi.

Namun suatu titik membangunkannya.
Alam sadarnya kini berfungsi,
seraya berbisik
'surga di atas bumi itu tidak pernah ada'.

Ia bangun dari tidurnya yang nyenyak.



- - Lalu ia sadar.
Ia beranjak meninggalkan
dalam senyap tak berencana
Ia sadar; ia pergi.
Tanpa ada kata kembali.
JHT Jun 2017
Dengarlah gemuruh hujan pada malam hari ini;
Dengan irama tetesannya kebisuan dicurahkan;
Dalam kegelapan jua para pencari melangkah;
Menyusuri persimpangan jalanan yang basah;
Mungkinkah sudah keraguan mereka terhapuskan?
Ataukah praduganya telah menjadi satu bentuk prasangka,
Yang sekiranya kembali menolak untuk lagi-lagi berbicara?

Dengan satu sapuan halusnya kembalilah dikau sunyi menjadi hening,
Hening menjadi tiada, seperti tiada memunculkan hampa;
Lalu hampa pergi meninggalkan luka yang menganga pada dikau;
Hanya kesembuhan dari hujan yang dinanti mereka yang terluka;
Seperti juga berkat yang dinantikan dikau yang tak lelah menanti;
Memegang erat setiap butiran yang mungkin tak mampu dimiliki;
Mendengar irama yang selamanya tak mampu dimengerti;

Bersabdalah hujan pada semesta di malam hari ini;
Hanya kesunyian yang terus ia ajak bicara dalam isyarat;
Hanya kegelapan yang selamanya tak mampu ia lihat;
Pengheningan resah telah menjadi gundah sang hujan;
Seperti gundah itu sendiri menjadi gulana dikau;
Seperti dikau yang hadir dan hilang dalam rimbanya hujan,
Kembali dicari namun tak mampu dihilangkan.
Niraksara perbincangan antara sang Pujangga dan Hujan. Sampai kapanpun kebisuan merupakan satu-satunya bahasa yang mempertemukan mereka.
Atta May 2016
He is standing still.
For the world he had been betrayed by,
He had lost his grip on hope.

Dear,
Yang telah kau pegang erat itu
Hanya seutas tali
Seutas cerca.
Jangan kau harap tali lusuh itu
Membawamu maju
Tali itu kuat menarikmu
Mundur
Walau perlahan
Tak membuatmu maju

Betrayal is a gift, sometimes
Betrayal is a chance for you
To change what you've been given
To prove them that you are more than who you are
To be yourself, to find yourself

If betrayal is a living thing
You should smile to him sometime
Even if it hurts you
Because it is the worst way to hurt your enemy

Karena nanti kau tahu
Kau ditinggalkan
Untuk diberi kesempatan

Karena mungkin di antara kesempatan itu
Kau menemukanku
Atau yang lain
Yang lebih seiras denganmu

Almost a thosand years
You've been wandering
Finding goods
But only found the bads

I am standing still
Healing the world
So you can live here with me
Anjay tai.
Aridea P Mar 2017
Palembang, 27 Maret 2017

aku pernah bermimpi tentangmu
kamu menggenggam erat tanganku
menuntunku ke tempat yang belum pernah ku tuju
sesaat kau hilangkan semua perasaan sesak dihatiku
kita bergandengan berdua, ya, di dalam mimpiku
kamu begitu tampan sehingga ku tak bisa berpaling memandangmu
kamu seorang yang belum pernah ku temui sebelumnya
kamu yang membuatku teringat kembali rasanya jatuh cinta
kamu menghargai setiap aksiku
kamu memandangiku bak perhiasan yang berharga
kamu jua lah yang membuatku berharap ketika ku kembali ke dunia nyata
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.
D May 2019
Baru saja tubuh beserta ruh ini menggelar ritual yang dianggap kekal
Ritual dimana aku bisa merasakan tubuhku merukuk, merunduk, menekuk-nekuk seikhlasnya tanpa meminta apapun kecuali untuk tubuh ini dibimbing Nya
Tak peduli jika doaku belum juga dijabah
Sesungguhnya Tuhan hanya ingin jiwa ini pasrah
Sebiadab-biadabnya laku ku sebagai manusia, terkadang haus juga akan ibadah

Disaat kedua tangan ini hendak selesai menggulung kain sajadah, Muncul pesan berisi alamat.
“Sampai ketemu.”
Seakan lupa terhadap perihal ritual kekal dunia akherat
Ujung kepala sampai ujung kaki ini sepakat untuk berangkat
Mengapa akal sulit digunakan jikala merindu?
Aku bersumpah, tak ada yang tahu.




Dalam sesingkatnya waktu aku menjadi saksi akan kehadiran tubuhku di ruang serba asing
Satu-satunya yang tak asing adalah rupanya.
Ditengah kegaduhan batin yang luar biasa,
Hati ini hanya bisa berkata;
“Akhirnya aku kembali melihat matanya.”
Setengah sayup setengah berbinar,
Sepasang bola mata itu menatap milikku,
Suara familiar yang sekarang terdengar serak parau dibabat dunia itu bercerita;
“Aku lelah.”
“Aku tahu.”

Tak sampai tiga puluh menit diriku kembali menjadi saksi akan ingkarnya sumpahku,
Karena aku bisa melihat tubuh ini kembali merukuk, merunduk, menekuk berliuk-liuk
Di momen itu, segala pengetahuan lucut bersama pakaian.
Saat pakaianku dilempar ke lantai,
Harga diri yang kupeluk erat ikut jatuh bersamanya.
Adegan pengingkaran sumpah itu berlangsung entah berapa lama

Buah sinar Matahari mulai mengintip untuk meberitahu bahwa hari baru sudah nampak
Aku bergegas mengambil seribu jejak,
Di jalan pulang aku menerima pesan;
“Terima kasih.”
“Kembali.”
Butuh seribu tahun untuk hancur ini diperbaiki.







Semua ini, sedangkan aku hanya ingin melihat matanya.
ophelia Jan 2019
indahnya kota jogjakarta pada malam itu
tidak seberapa indah dengan
binar mata
dan senyum lekuk bibir mu
pada malam itu,
bising klakson mobil pada kemacatan malam itu bahkan bukanlah perihal yang menggangu. nyaman, bahkan bagiku semua tenang.
teringat jelas bagaimana kita menelusuri kota jogja sambil mendengarkan lagu saat kau menggengam tanganku erat, bagaikan takut kehilangannya.
untukmu Tuan,
sosok yang selalu memberikan ku kehangatan di malam hari disaat semua bergetar kedinginan.
tubuh dan ragamu yang amat ku kasihi,
terima kasih sudah memperlihatkan indahnya dunia yang pernah jahat ini.
padamu Tuan,
aku mengundangmu untuk sejenak meletakan kepala mu dibahuku dan menikmati malam yang indah, berdua.
Megitta Ignacia Jul 2019
berhenti sebentar
amati tangga kehidupan
beberapa melesat kencang
beberapa berleha-leha
beberapa meronta terpenjara
bersandiwara mencengkram erat muslihat
beberapa berhenti berkoar
betah hanya memandang 1 arah
acuh membangun bata perbatasan
agar ujungnya jiwa tak lagi rapuh

kulihat semuanya budak
diantara kerumunan manusia
golongan batasnya
pendapatan pengeluaran
semua saling bertukar jerit
"memangnya kau siapa?"
220719 | 8:51 AM di kamarku, kamarku sendiri, masih di kota kesayangan Bandung, mau ke Majalengka airport. Tuhan jaga keluargaku amin.
brandon nagley Jun 2015
Ludicrously,
I seeketh ones boutique
To put me on mine knees
And beg for satisfactory mercy

Endlessly,
I'm tired
I seeketh desire
Palm shadows dire
In ourn arms I seeketh an artista!

Perilously,
I want to end up in her books
Be her diary loving's of memories
Yet not forgotten!!

Severely,
This vessel's pained
I needeth her gain
A and her liquid to give me fullness

A mirage is all I see!!!
Novis te cantabo chordis,
O novelletum quod ludis
In solitudine cordis.

Esto sertis implicata,
Ô femina delicata
Per quam solvuntur peccata !

Sicut beneficum Lethe,
Hauriam oscula de te,
Quae imbuta es magnete.

Quum vitiorum tempegtas
Turbabat omnes semitas,
Apparuisti, Deitas,

Velut stella salutaris
In naufragiis amaris...
Suspendam cor tuis aris !

Piscina plena virtutis,
Fons æternæ juventutis
Labris vocem redde mutis !

Quod erat spurcum, cremasti ;
Quod rudius, exaequasti ;
Quod debile, confirmasti.

In fame mea taberna
In nocte mea lucerna,
Recte me semper guberna.

Adde nunc vires viribus,
Dulce balneum suavibus
Unguentatum odoribus !

Meos circa lumbos mica,
O castitatis lorica,
Aqua tincta seraphica ;

Patera gemmis corusca,
Panis salsus, mollis esca,
Divinum vinum, Francisca !

— The End —